Subi Laci Sejarah di Laut China Selatan

id Subi, Laci, Sejarah, Laut, China, Selatan,perbatasan,natuna

BOLA merah sebesar dulang tembaga perlahan menyembul di kaki langit Laut China Selatan diiringi loncatan indah beberapa ekor ikan yang melayang-layang seakan berpacu dengan boat kecil berpenumpang 10 orang yang melintasi laut dalam di wilayah Kepulauan Riau.

Lautan teduh saat fajar pada tanggal lima hari bulan Jumadil Awal atau tanggal enam belas Maret lalu merupakan pemandangan langka di akhir musim Utara.

Namun, ANTARA bersama rombongan tim dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Sosial dan DPRD Provinsi Kepulauan Riau dapat  berkunjung ke wilayah perbatasan Indonesia yang berada di Kabupaten Natuna.

Salah satu dari sejumlah pulau perbatasan yang menghampar di Laut China Selatan dan berbatasan dengan Vietnam, Malaysia dan Kamboja adalah Pulau Subi Kecil, Kecamatan Subi.

Menempuh pulau yang menjadi pagar batas wilayah NKRI ini, bukanlah perjalanan yang mengasyikkan apabila stamina rendah karena cuaca di Laut China Selatan acap berubah-ubah seketika dengan gelombang yang tinggi dan tiupan angin yang kencang, belum lagi minimnya transportasi laut yang dapat menjamin keselamatan tiap penumpang.

Namun, cuaca teduh sejak subuh mengarungi laut samudera luas itu dari Pulau Panjang, menyebabkan perjalanan tidak berlangsung lama, hanya satu jam, padahal biasanya mencapai dua atau tiga jam.

Setelah melewati tiga pal (tanda alur pelayaran) yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda, speed boat yang hanya bermuatan sepuluh orang itu pun memasuki alur Selat Nasi, selat yang membelah Pulau Subi Besar dan Subi Kecil. Selat tersebut lebarnya hanya sekitar 50 meter.

Begitu kaki menginjak dermaga, yang terlihat adalah mentari yang sepenggal galah di ufuk Timur dan deretan kapal nelayan yang baru singgah dari melaut.

Beberapa dermaga kayu menghiasi bibir pantai berair jernih dan di bawahnya banyak terdapat jala-jala yang digantung sebagai tempat budidaya ikan. Saking jernihnya air, dasar pantai berpasir putih terlihat jelas dengan anakan ikan yang bebas berenang mengikuti riak air.

"Sebelah sana di samping dermaga kayu di belakang penginapan itu adalah kapal-kapal nelayan Thailand yang berhasil kami tangkap," ujar Sekretaris Camat Subi, Abdul Kadir yang menyambut kedatangan kami.

Kapal nelayan asing seperti dari Thailand, Vietnam, Malaysia ataupun China selama ini bebas keluar masuk mencari ikan di perairan Subi. Walau, lintasan internasional tidak jauh dari wilayah perairan pulau terluar itu, namun kapal-kapal berbendera asing itu acap pula menjatuhkan jaring  atau alat tangkap modern di perairan dekat pulau.

"Kadang kami hanya dapat menangkap kapal, tapi mereka tak juga jera. Tangkap satu seribu yang datang," ujar Abdul Kadir yang mengumpamakan susahnya mereka mengawal kekayaan alam  agar dapat dinikmati untuk kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

Berjalan menyusuri  Pulau Subi Kecil ibaratnya membalikkan kehidupan  ke masa lalu. Rumah-rumah penduduk walau telah disentuh dengan bangunan modern dengan terlihatnya bangunan rumah beton, namun tradisi masyarakat Melayu di daerah ini masih mengurat mengakar.

Tengoklah di setiap tangga rumah mereka masih ada tempayan. Tempayan yang umurnya bahkan ada ratusan tahun itu berfungsi sebagai tempat air dan kala ada orang datang berkunjung ke rumah maka diharuskan mencuci kaki terlebih dahulu.

Tidak hanya tempayan yang menghiasi tangga rumah penduduk tapi juga, di bagian atas pintu akan terlihat pula beberapa helai ijuk.

"Maklum kami ini tinggal di laut dan ijuk itu sebagai penangkal agar hantu laut tidak masuk ke rumah," ujar Saleh, salah seorang warga menjelaskan fungsi ijuk yang diselipkan di atas pintu.

Bagian Sejarah

Kecamatan Subi yang baru dimekarkan dari Kecamatan Serasan pada 2004, terdiri atas 23 pulau, empat pulau berpenghuni dan sisanya  masih merupakan pulau kosong, baik berupa pulau bertanah maupun karang.

Kecamatan yang berpenduduk 2.879 jiwa itu merupakan wilayah tapal batas Indonesia dengan Malaysia bagian Timur, Vietnam dan Kamboja.

Pulau yang memiliki panorama alam unik karena jika berdiri di dermaga di Selat Nasi maka  dapat menikmati matahari muncul dan tenggelam itu, banyak menyimpan sejarah masa lalu. Tidak hanya peradaban budaya Melayu tetapi juga peninggalan penjajah Belanda dan Jepang. Pulau yang menjadi titik navigasi laluan dagang internasional itu juga kaya dengan berbagai peninggalan kuno.

Tidak hanya tempayan kuno yang belepak begitu saja di halaman rumah warga tetapi juga perkakas kuno lainnya seperti meja batu peninggalan Cina kuno atau piring mati rasa, piring pecah seribu ataupun meriam perang peninggalan Kerajaan Melayu Riau Lingga yang juga teronggok di luar rumah warga.

Bahkan, beberapa rumah panggung yang menjadi ciri bangunan Melayu dengan ukiran kayu masih tetap berdiri kokoh seakan tidak lapuk oleh panas dan tidak lekang oleh zaman.

Bangunan fenomenal yang mengingatkan peran bangsa asing memerintah di negeri ini adalah tapak  mercu suar yang dibangun pada masa Belanda dan lapangan terbang peninggalan Jepang.

"Tahun berapa Belanda membangun mercu suar ini saya tidak tahu pasti angkanya tapi diperkirakan pertengahan 1800-an. Itu menurut cerita turun temurun dari masyarakat daerah ini," ujar Seprianto (44) penjaga mercu suar yang ditemui di Bukit Lampu, Pulau Subi Kecil.

Menurut dia, ingatan masyarakat terhadap pembangunan mercusuar zaman Belanda itu dituturkan  dari mulut ke mulut karena adanya cerita tumbal manusia dalam membangun pondasi mercusuar. Pondasi mercu suar berupa konstruksi batu bata merah yang didatangkan dari Batavia.

"Mercusuar zaman Belanda  bentuknya bulat berdiameter sekitar tiga meter dan setinggi 20 meter. Bagian atas tempat lampu dengan bahan bakar karbit. Mercusuar tersebut terbuat dari lempeng besi yang telah lapuk dan berkarat akhirnya di tahun 1969 dirobohkan dan dibuat baru," katanya.

Peninggalan Belanda di areal Bukit Lampu selain menara suar adalah dua unit rumah penjaga, gudang ransum, gudang BBM, gudang motor atau bengkel, kamar mesin dan areal kuburan keluarga menara yang meninggal saat bertugas di daerah itu.

Bangunan mercusuar baru berupa rangka besi dibangun atas bantuan dana dari PBB setinggi 30 meter dengan lampu di ujung menara berbahan energi solar sel.

Mercusuar Bukit Lampu Pulau Subi Kecil berada 62 meter di atas permukaan laut dan merupakan suar yang ke 2.170 sesuai dengan Daftar Suar Indonesia (DSI), yang ada di bangunan menara.

Selain jejak tapak mercusuar di Bukit Lampu yang dibangun pada masa Belanda, di Pulau Subi juga terdapat lapangan terbang yang dibangun pemerintah Jepang pada kurun waktu tahun  1944. Sejak 1942 Jepang telah masuk wilayah Subi dan Kepulauan Natuna lainnya karena daerah ini terkenal sebagai penghasil cengkih berkualitas bagus.

Selain itu, letak Pulau Subi Kecil  yang strategis di Laut China Selatan menyebabkan Jepang berniat membangun pangkalan udara di pulau tersebut.  Lokasi lahan pangkalan Jepang tersebut menurut warga setempat, Bakir (78), dari pantai Kampung Perayak hingga pantai sebelah Timur pulau yakni Kampung Batu Periuk.

"Panjang lintasan sekitar 1.500 meter. Lahan yang dipakai Jepang untuk lapangan udara dulunya kebun kelapa masyarakat dan tanah warga yang dirampas paksa oleh tentara Jepang," ujar Bakir.

Saat pendudukan Jepang, Bakir dalam usia remaja. Walau dia tidak ikut bekerja membuat lapangan udara sebagai romusha tetapi keluarganya banyak yang dijadikan pekerja paksa oleh Jepang untuk menyiapkan lapangan tersebut.

"Tidak hanya masyarakat Subi yang menjalani kerja paksa sebagai romusha tetapi juga warga Pulau Serasan dan Midai yang didatangkan Jepang. Saya masih ingat bagaimana orang digantung di pokok kayu jika kerja mereka lamban," ujar Bakir.

Namun, katanya,  pembangunan pangkalan udara Jepang di pulau tersebut tidak berlangsung lama. Saat landasan belum siap Jepang menghadapi serangan Sekutu, baik romusha maupun tentara Jepang kocar-kacir ketika terjadi serangan.

Bukti dari serangan Sekutu dapat dilihat di lapangan terbang yang dibangun Jepang. Hingga kini lahan lapangan tersebut berlobang-lobang bekas tembakan peluru bahkan selongsong peluru masih banyak ditemui di landasan tersebut.

Pulau yang selalu harum dengan cengkihnya ini banyak menyimpan bukti sejarah yang belum terjamah dan diketahui luas. Bahkan di pulau ini telah berulang kali pula hewan purba Gajah Mina, ditemukan terdampar menjadi bangkai. Hewan laut yang bermukim di laut dalam itu hingga kini belum diketahui keberadaannya secara ilmiah karena belum adanya penelitian. Bahkan perairan Subi atau Natuna acap pula disebut-sebut sebagai negeri Atlantis yang hilang.

Maka tidak salah jika disebut Subi sebagai laci sejarah di Laut Cina Selatan karena banyak menyimpan bukti sejarah peradaban manusia. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE