Pemkot Dukung Larangan Ekspor Bahan Tambang Mentah

id tanjungpinang,larangan,ekspor,tambang,mineral,mentah

Tanjungpinang (Antara Kepri) - Pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan mendukung pemerintah pusat melarang ekspor bahan tambang mentah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi angka pengangguran.

"Kami sudah melayangkan surat dukungan kepada pemerintah pusat. Kami mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 1/2014 terkait larangan ekspor bahan tambang mentah," kata Kepala Bidang Pertambangan Dinas Kelautan, Pertanian, Pertambangan, Kehutanan dan Energi Tanjungpinang Zulhidayat di hadapan sekitar 300 orang peserta seminar bertema "Dampak Pertambangan Ilegal Ditinjau Dari Aspek Hukum, Ekonomi dan Lingkungan, yang digelar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pembangunan Tanjungpinang, Jumat.

Ia menambahkan, harga bahan tambang mentah seperti bauksit jika diekspor sekitar 20 dolar Amerika/ton, sedangkan separuh jadi 200 dolar Amerika/ton dan barang jadi mencapai 2000 dolar Amerika/ton. Disparitas harga yang sangat tinggi itu mendorong pemerintah untuk hanya memperbolehkan perusahaan mengekspor bahan setengah jadi dan bahan tambang yang sudah diolah.

"Perbedaan harga yang jauh itu menguntungkan bagi pemerintah, daerah dan masyarakat jika hanya dibenarkan ekspor alumina dan almunium. Kalau bahan mentah diekspor, keuntungan yang diperoleh sedikit," ujarnya dihadapan ratusan mahasiswa yang menjadi peserta seminar yang digelar Badan Ekskutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pembangunan dan Komunitas Bakti Bangsa Kepulauan Riau.

Zul juga berpendapat seandainya hal itu telah dilakukan pemerintah sejak dahulu, mungkin masyarakat Tanjungpinang, Bintan, Karimun dan Lingga sejahtera. Sebab, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada perusahaan yang mengelola bauksit menjadi bahan setengah jadi mencapai ribuan orang dan pendapatan daerah meningkat.

Penambangan bauksit di Pulau Bintan (Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan) sejak tahun 1924 sampai 2013. Selama itu skspor bahan mentah bauksit diekspor ke berbagai negara, seperti Jepang dan China.

"Agar seminar ini membuahkan hasil yang positif, kami mengimbau seluruh organisasi kemahasiswaan mendukung kebijakan pemerintah melarang ekspor bahan tambang mentah. Kami berdoa dan berharap gugatan terhadap pasal larangan ekspor bahan mentah itu ditolak Mahkamah Agung," katanya.

Sementara itu, Kasi Perencanaan Dinas Pertambangan Bintan Roki, mengemukakan, penambangan bauksit jika dikelola dengan baik menguntungkan bagi masyarakat, daerah dan negara. Kondisi pertambangan yang ditangani dengan baik tidak akan terjadi seperti saat ini.

"Terlalu banyak oknum-oknum yang mengintervensi dan berbisnis dengan cara yang tidak benar sehingga pengelolaan bisnis penambangan tidak berjalan dengan baik," ujar Roki.

Sementara itu, Kaur Binops Satreskrim Polres Tanjungpinang Efendi, yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu mengemukakan, penambangan bauksit ilegal menimbulkan banyak permasalahan, seperti konflik lahan dan konflik antara pengusaha dengan masyarakat. Bahkan ada beberapa anggota masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penambangan malas bekerja, karena berharap mendapat kompensasi dari penambang. Nilai kompensasi mencapai Rp700.000-Rp1 juta/bulan dan beras satu goni.

"Sekarang bauksit sudah tutup, sementara sampan atau perahunya sudah dijual ketika aktivitas bauksit masih berjalan," katanya.

Menurut dia, pengusaha memiliki perusahaan, tetapi atas nama orang lain. Ada beberapa pengusaha yang menggarap lahan bukan miliknya atau yang belum dibebaskan.

Salah satu kasus penambangan yang ditangani sampai proses peradilan terjadi di Dompak, Tanjungpinang antara PT Trikarya Abadi dengan PT Kemayan Bintan.

"PT Trikarya Abadi memiliki izin usaha penambangan, tetapi dalam melakukan pemambangan di luar lahan yang dibebaskannya," ungkapnya.

Sedangkan Kepala Pengendalian, Pencemaran dan Pengelolaan Limbah Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau Yuliman Gamal mengemukakan, penambangan ilegal tidak hanya karena pengelolanya tidak memiliki izin penambangan, melainkan juga penambangan dilakukan di luar tata ruang dan tidak ada izin Amdal.

"Penambangan itu menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, seperti perubahan estetika dan kenyamanan lingkungan, penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan," katanya.

Ia mengungkapkan, lahan pascatambang yang berada di kolam tempat pencucian bauksit mengandung logam berat yang memiliki nilai jual yang tinggi, salah satunya adalah zat campuran untuk membuat nuklir.

"Saya kaget mendengar lokasi itu ditanami pohon-pohon, karena ada zat yang dapat dijual dengan harga tinggi atau digunakan untuk kepentingan dalam negeri," ungkapnya. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE