Cengkih Tambat Baikuni Syiar Agama di Perbatasan

id cengkih,tambat,baikuni,syiar,agama,perbatasan,serasan,natuna,pulau,demak,semarang,segantang,lada

Cengkih Tambat Baikuni Syiar Agama di Perbatasan

Baikuni Mukhtaram(antarakepri.com /Evy R. Syamsir).

Wangi bunga cengkih dan harga jualnya yang tinggi, menambat hati Baikuni Mukhtaram muda untuk melanglang ke Negeri Segantang Lada, mengarungi lautan luas meninggalkan Demak, Jawa Tengah, kampung halamannya pada 40 tahun silam.
         
"Ketika itu umur saya sekitar 23 tahun. Saya tinggalkan pekerjaan sebagai guru agama di sekolah negeri. Saya merantau bukan hanya ingin berniaga, tapi juga untuk melepas duka atas kepergian istri yang meninggal saat melahirkan anak saya yang pertama. Saya nekad ke Serasan karena tergiur cengkih," ujar Baikuni (63), seorang tokoh agama di Pulau Serasan, salah satu pulau di gugusan pulau Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
         
Pada waktu itu harga cengkih di Serasan sekitar Rp2.500 per kilogram sedangkan harga jual di Semarang Rp6.000 per kilogram.
         
Ia juga menilai orang Serasan berbudi baik dari bahasa Melayu yang mereka pakai, dan juga sejahtera ditunjukkan perempuan Serasan yang datang ke Semarang pada umumnya memakai kungkung (kalung emas besar).
         
Dalam benaknya terbayang, Pulau Serasan  tentulah daerah yang ramai dan penduduknya sejahtera seperti di Semarang, tempat singgah kapal-kapal cengkih dari Natuna dan juga tempat mereka berbelanja barang kebutuhan hidup.
          
Ayah lima anak ini berujar, saat berada di Masjid Kauman Semarang pada 1975, pertemuan dengan para saudagar cengkih dari Serasan itu membulatkan tekadnya untuk menjelajah negeri yang belum pernah disinggahnya.
         
Baikuni berangkat ke Serasan yang berbatasan dengan parairan Malaysia Timur pada awal April 1975 dengan menumpang kapal kayu Serayu selama tiga hari tiga malam, meninggalkan pekerjannya sebagai guru di Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA).
           
Ia mengira Serasan sedang panen cengkih. Namun, saat tiba  ternyata di pulau yang berada di perairan Laut Tiongkok Selatan itu, musim panen  sudah berakhir. Ia tidak mendapatkan cengkih seperti yang diharapkan.
         
"Saya tiba musim panen dah berlalu. 'Nak balek' kampung ke Demak malu. Akhirnya saya memilih tetap di Serasan," kata Ustad Bai  sapaan akrabnya dengan logat Melayu.
         
Ia lalu tinggal menetap di kampung yang waktu itu amatlah sunyi. Serasan, pulau terisolir dan penduduknya mengandalkan moda transportasi laut.
         
Walau membawa bekal uang yang cukup, namun ia tidak menghabiskannya begitu saja. Ia malah mengambil upah kerja sebagai penebas kebun orang.
         
"Di Demak saya guru PGA, tetapi saya tinggalkan merantau ke Serasan dan menjadi buruh. Saya tak malu karena rezeki saya halal." ujar Baikuni.
         
Masa kecil dan remaja yang dijalaninya sebagai santri di  Pesantren Rembang dan Pesantren Larsem serta pengalamannya sebagai alumni UGA (Ujian Guru Agama), menjadi bekal hidup Baikhuni di Serasan.
        
Walau tidak punya saudara atau kenalan di pulau terpencil nan sunyi itu, Baikuni tetap betah di negeri Melayu yang berpanorama alam indah itu bahkan dia  mendapat jodoh seorang gadis tempatan bernama Sofiati.
         
Berbekal ilmu agama, mulailah Baikuni menghidupkan surau dan masjid. Masjid dan surau di pulau perbatasan itu yang sepi dari kegiatan oleh Baikhuni diisi dengan kegiatan mengajar ngaji dan shalat berjamaah.
          
Sebelum Baikhuni menetap di Serasan, tidak ada tradisi ceramah agama saat menyambut Hari Besar Islam seperti saat Maulud atau Israk Mikraj. Jadilah ayah lima anak itu  mengamalkan ilmu agamanya menyiarakan ajaran Islam ke masyarakat Serasan hingga pulau-pulau terpencil dan terluar di perairan sekitarnya.
         
Ia juga merintis Madrasah Tsanawiyah di daerah perbatasan itu dan ikut mengajar ilmu agama di MTs tersebut selama 15 tahun.
          
"Kini setelah 40 tahun berlalu, Alhamdulillah masyarakat 'dah' banyak berubah. Dulu tak rajin ke masjid, sekarang jadi rajin bahkan shalat berjamaah selalu ramai. Saya sangat bersyukur masyarakat di sini menerima saya dan saya juga dapat menjalankan tugas sebagai guru agamai," ujar Baikhuni yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Kecamatan Serasan.(Antara)

Editor: Dedi

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE