Jokowi Pantas Atasi Tawuran Brimob-TNI AD

id Jokowi,Pantas,Tawuran,bentrok,Brimob,TNI,AD,batam

TAWURAN antara anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Kepulauan Riau dengan anggota Batalyon Infantri(Yonif)134/Tuah Sakti TNI Angkatan Darat di Batam pada hari Rabu (19/11) di Batam akhirnya mengundang perhatian Presiden Joko Widodo yang kemudian minta agar bentrokan memalukan ini tidak terjadi lagi.

"Presiden minta agar kasus ini tidak terjadi lagi," kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Sutarman kepada pers di Istana Negara, Jakarta, Kamis malam.

Tawuran atau bentrokan antara aparat keamanan dengan pertahanan itu terjadi usai beberapa anggota Brimob dan Yonif 134 bertemu di sebuah tempat pengisian bahan bakar untuk umum. Karena mereka muda-muda kemudian terjadi saling memelototi dan membentak yang kemudian berlanjut kepada pertengkaran. Para prajurit muda TNI-AD itu kemudian melempari markas Brimob dan kemudian berlanjut dengan tembakan sehingga membuat warga Batam menjadi ketakutan karena pada tanggal 21 Oktober 2014 sebelumnya juga terjadi suasana "panas" antara para anggota Polri dengan TNI-AD.

Agar tidak terjadi lagi suasana tegang, maka Presiden Jokowi memerintahkan agar Kepala Staf TNI-AD Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Sutarman untuk langsung menangani kasus tawuran ini.

Karena selama dua bulan berturut-turut telah terjadi dua kali kasus kekerasan, maka masyarakat pun berhak bertanya-tanya kenapa hal itu sampai terjadi, padahal seharusnya hal itu tidak terjadi lagi apalagi di daerah yang sama. Karena itu, patut direnungkan ucapan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Mochammad Fuad Basya bahwa perkelahian ini terjadi terutama karena para prajurit kedua satuan ini masih sangat muda-muda.

"Mereka itu masih  'mentah-mentah'," kata Mayjen Fuad ketika berusaha menjelaskan latar belakang kasus tembak menembak yang diawali dengan saling memaki di antara kedua pihak yang masih muda-belia itu.

Fuad menyebutkan pendidikan terhadap anggota Polri dan TNI-AD itu hanya sekitar dua hingga tiga bulan dan itu pun sangat mengutamakan agar mereka mampu menjadi prajurit AD dan Polri yang tahu tugasnya secara fisik. Dengan jangka waktu pendidikan yang sangat singkat atau pendek itu maka hampir bisa dipastikan bahwa pendidikan tentang mental dan sikap kurang mendapat perhatian maksimal.

Apalagi kemudian, setelah prajurit-prajurit muda itu masuk ke dalam satuan tertentu, pembinaan sikap dan mental itu kurang mendapat perhatian serius sehingga tidak aneh jika terjadi perkelahian atau tawuran bagaikan anak-anak sekolah menengah atas atau SMA misalnya di kawasan Bulungan, Blok M, Jakarta.

Karena TNI-AD memiliki prajurit sekitar 500.000 orang dan Polri berkekuatan kurang lebih 400.000 prajurit yang sebagian besar di antaranya adalah anak-anak muda maka bisa dibayangkan bahwa pada masa mendatang perkelahian di Batam ini bisa terulang lagi di berbagai kota di Tanah Air. Apakah kasus tawuran ini bisa dicegah atau tidak?

Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tubagus Hasanuddin menyatakan tindak kekerasan antara prajurit Polri dan TNI itu tidak bisa hanya diselesaikan di tingkat lokal atau daerah setempat saja sehingga harus diselesaikan di Jakarta.

"Presiden harus menegaskan kalau sampai terjadi lagi bentrokan, maka pangdam atau kapolda di daerah itu bisa langsung dicopot saja," kata Hasanuddin yang merupakan jenderal purnawirawan.

Hasanuddin yang lebih akrab dengan panggilan " Pak TB" semasa dinas aktifnya antara lain pernah menjadi ajudan Prof Bacharuddin Jusuf Habibie saat menjadi Wakil Presiden dan Presiden serta menjadi sekretaris militer kepresidenan saat Megawati Soekarnoputri menjadi kepala negara atau presiden.

Jika mendengar penjelasan Pak TB tentang bisa dipecatnya panglima daerah militer atau pangdam dan juga kepala kepolisian daerah alias kapolda, maka masyarakat bisa mengingat pada kasus dipecatnya panglima Kodam IV Diponegoro dan juga kapolda Jawa Tengah setelah terjadinya kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta oleh belasan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus)TNI-AD baru-baru ini.

Pimpinan Kodam IV Diponegoro itu dicopot gara-gara mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat bahwa tidak benar ada anggota Kopassus yang terlibat dan penyerangan LP Cebongan yang mengakibatkan tewasnya sejumlah tahanan.

Pembinaan mental


Apabila masyarakat memperhatikan pernyataan Kepala Puspen TNI Mayjen Fuad Basya tentang "masih mentahnya" atau sangat mudanya usia para prajurit, maka rakyat bisa mengingat bahwa beberapa tahun lalu, sebuah satuan setingkat batalyon di Medan, Sumatera Utara terpaksa dilikuidasi atau dibubarkan gara-gara para prajuritnya bentrok dengan polisi.

Dengan mengingat kasus di sekitar kota Medan itu, maka mungkinkah masyarakat akan bisa membayangkan bahwa dua satuan Polri dan TNI-AD itu bisa dibubarkan atau dilakukan pemecatan ataukah cukup pada tingkat komandannya di lapangan.

Pertanyaan yang muncul pada benak masyarakat adalah karena memang para prajurit Polri dan TNI itu masih muda-muda maka apakah terhadap mereka sudah dan akan diberikan pendidikan dan sikap mental yang baik sebagai seorang prajurit?

Setelah mereka menjalani pendidikan kemiliteran atau kepolisian maka mereka langsung ditempatkan di satuan-satuan kewilayahan. Persoalannya adalah karena negara ini relatif aman dan terkendali maka kemungkinan besar para prajurit itu tidak mendapat "pekerjaan" atau tugas yang berat-berat.

Contohnya, para prajurit  Batalyon Infantri 134/Tuah Sakti TNI-AD paling-paling hanya apel pagi dan apel siang karena tidak ada gangguan keamanan  di Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan negara  Singapura ataupun di Provinsi Kepulauan Riau.

Karena mereka "kurang pekerjaan" maka relatif para prajurit muda TNI  itu tidak bis menyalurkan tenaga-tenaga mereka yang perkasa itu. Akibatnya, tenaga berlebih itu tersalurkan secara salah sehingga berani atau tidak ragu memelototi anggota Brimob ataupun prajurit dari angkatan-angkatan lainnya.

Karena itu,untuk menghindarkan terus terjadinya tawuran antarprajurit, maka jajaran pimpinan militer mulai dari Menko Polhukam Tedjo Edhy, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, Kasad Jenderal TNI  Gatot Nurmantyo dan juga Kapolri Jenderal Sutarman harus memikirkan pola pembinaan mental terhadap ratusan ribu anak buah mereka.

Setiap angkatan di TNI dan Polri pasti memiliki pusat atau dinas pembinaan mental yang selama ini harus diakui kurang mendapat perhatian yang wajar. Harus diyakini bahwa pembinaan mental ratusan ribu tentara atau  polisi sama sekali bukan hal yang mudah, apalagi gangguan fisik keamanan akan semakin sedikit dan berkurang yang mengakibatkan para prajurit TNI dan Polri akan "kelebihan energi".

Presiden Jokowi memang tidak banyak berpesan kepada Kapolri Sutarman pada saat mereka bertemu di Jakarta, Kamis malam itu. Namun pimpinan TNI dan Polri serta seluruh jajarannya harus sadar betul bahwa Jokowi juga menjadi Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia atau TNI dan juga langsung membawahi Polri.

Jika kasus kekerasan atau tawuran antarprajurit masih tetap saja terjadi, maka bisa saja pihak- pihak yang tidak menyukai TNI dan Polri mendesak agar jumlah penerimaan prajurit dibatasi dan juga dikuranginya anggaran belanja dengan dalih atau alasan tawuran prajurit akan membuang-buang anggaran militer dan polisi.

Pembinaan mental prajurit memang tidak mudah, tapi hal itu harus dilakukan secara terencana dan matang agar kasus perkelahian tidak terus terulang. Kalau tawuran prajurit tetap saja terjadi, maka para pelajar bisa saja berkata" prajurit saja masih dibiarkan dan 'boleh' berkelahi maka kenapa kita dilarang tawuran".

Jokowi memang sebagai Kepala Negara yang baru harus memikirkan begitu banyak persoalan muliai dari dampak kenaikan harga bbm, bagaimana proses pembahasan  RAPBN 2015 yang nanti setelah disahkan harus sudah diubah lagi menjadi RAPBN  Perubahan 2015 dan banyak masalah lainnya. Namun sebagai Panglima Tertinggi TNI maka Jokowi sudah sepantasnya menyediakan wakyu untuk memikirkan segudang persoalan  di TNI dan Polri termasuk upaya-upaya jangka pendek, menengah dan jangka panjang mencegah terus terlangnya tawuran atu perkelahian antarprajurit.

Karena Jokowi bukanlah seseorang yang datang dari kalangan TNI ataupun polisi, tentu diperlukan waktu ekstra untuk memahami persoalan di TNI dan Polri walaupun orang menaruh harapan besar kepada Presiden ke-7 ini. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE