Sagu, Harta Karun Sultan Lingga

id Sagu,Harta,Karun,Kesultanan,Riau,Lingga

Sagu, Harta Karun Sultan Lingga

Seorang warga sedang menyusun tual-tual sagu menjadi sebuah rakit untuk diangkut dengan mengapung di air. (antarakepri.com/Ardhi)

Perseroan beruntung terjun ke usaha ini bukan dari nol, karena mengambil-alih perusahaaan sagu di Riau, tepatnya Kabupaten Meranti
TANPA disadari, sebelum berakhirnya Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1913, Sultan Abdurrahman Muazam Syah (Sultan terakhir Riau-Lingga) telah meninggalkan harta karun yang nilainya ditaksir mencapai 1 triliun rupiah.

Harta yang ia tinggalkan di atas pulau yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Lingga tersebut, seakan luput dari perhatian, karena dianggap tidak memenuhi persepsi harta karun pada umumnya, seperti emas atau berlian.

Padahal, jika diteliti lebih jauh, harta itu nilainya luar biasa besar, dan dianggap mampu mengatasi berbagai permasalahan ekonomi di Kabupaten Lingga.

Bahkan, sejumlah pakar menilai harta seperti yang ditinggalkan sultan itu, merupakan harta abadi dan akan terus tumbuh meluas.

Harta yang dimaksud tersebut yakni, jutaan batang tanaman sagu siap panen, di atas puluhan ribu hektare lahan yang tersebar di tiga kecamatan.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Kadistanhut) Lingga Rusli Ismail, Senin (9/11) memaparkan, luas lahan sagu siap panen yang dimiliki Lingga mencapai 10 ribu hektare. Lahan seluas itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Lingga, Lingga Timur dan Kecamatan Lingga Utara.

Rusli mengatakan, sagu tanamban jika dibandingkan dengan tanaman lainnya, karena sifat regenerasinya, dari tunas yang senantiasa tumbuh di sekitar induk kemudian membesar, dan siap panen, begitu seterusnya.

Hal itu pula yang membuat sagu di Lingga tidak pernah habis meskipun sudah berumur ratusan tahun.

Saat ini, pohon sagu siap panen tersebut berpotensi menghasilkan ratusan ribu ton sagu per tahun, dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Namun sangat disayangkan, sejak Lingga menjadi kabupaten pada 12 tahun silam, potensi itu belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk mengangkat perekonomian masyarakat.

Kuantitas produksi sagu Lingga saat ini, per tahunnya hanya berkisar ribuan ton saja. Seperti yang tercatat pada tahun 2014, dalam laporan LKPj Bupati Lingga beberapa waktu lalu, sebanyak  2.615 ton.

Angka tersebut menunjukkan kemampuan produksi sagu Lingga masih sangat kecil, dan hanya mampu menyentuh sebagian kecil dari total lahan sagu siap panen yang tersedia di Lingga saat ini.

Berkaca dari Kabupaten Kepulauan Meranti yang juga memiliki komoditas sagu, omset usaha kebun sagu rakyat yang saat ini memasuki usia panen seluas lebih kurang 23 ribu hektare, dengan jumlah batang sekitar 2.070.000 batang, produksinya diestimasikan mencapai 414.000 ton per tahun.

Jumlah itu mempunyai nilai transaksi sebesar Rp2,07 triliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan nilai ekonomis limbah, kulit pohon serta limbah cair dengan olahannya.

Saat ini perputaran ekonomi di Kabupaten Meranti, mencapai Rp900 miliar per tahun dari komoditas sagu. Artinya, keberadaan sagu di daerah tersebut mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Sementara di Kabupaten Lingga, dengan lahan sagu yang siap panen seluas 10 ribu hektare, atau setengah dari luas lahan sagu di Meranti, nilainya bisa mencapai 1 triliun rupiah.

Namun hal itu belum sama sekali membuka mata pemerintah daerah, bahkan pada 2015 ini, peremajaan lahan sagu yang dianggarkan dalam kegiatan Distanhut Lingga setiap tahunnya, ditiadakan karena alasan defisit.

Kendala Industri Sagu

Rendahnya produksi sagu di Lingga diduga karena faktor industri sagu yang masih dalam skala kecil, dan pelaku industrinya tidak banyak. Produksinya hanya mampu menghasilkan 7 sampai 10 ton sagu basah per pengolahan (1 minggu).

Zaikumar, salah seorang pelaku industri sagu di Desa Panggak Laut memaparkan, kuantitas produksi sagu miliknya berkisar 7 ton per minggu, atau sekitar 23 batang sagu yang mampu diolah dalam satu minggu. Untuk meningkatkan produksi membutuhkan bak pengendapan sagu yang lebih besar.

Jumlah industri sagu di Lingga yang tersebar di tiga kecamatan diperkirakan berkisar 300-an unit. Bisa digambarkan, jumlah batang sagu yang mampu diolah oleh 300 pelaku industri sagu di Lingga hanya 300 ribu batang saja per tahun.

Untuk menyerap jutaan batang sagu siap panen di atas lahan puluhan ribu hektare tersebut, pemerintah harus mulai memikirkan sebuah industri berskala besar.

Sementara itu, Perusahaan Daerah masih menekuni pengolahan sagu dalam skala kecil. Hal itu diduga, karena penyertaan modal daerah yang masih terbatas, dan permintaan pasar yang dimilikinya masih relatif kecil.

Investasi Abadi

Lingga memiliki ketersediaan bahan baku cukup memadai untuk industri pengolahan sagu berskala besar.

Hal itu tentu menjadi pertimbangan utama bagi tiap investor yang ingin menginvestasikan modalnya di sektor pertanian.

Bahkan sejumlah perusahaan perkebunan mengakui, sagu merupakan jenis investasi perkebunan masadepan, karena karakternya yang abadi.
 
Seperti yang dilakukan PT Sempoerna Agro Tbk yang kini menjadi pionir dalam pengembangan industri sagu di dalam negeri.

Direktur PT Sampoerna Agro Dwi Asmono, Ph.D, dalam laman website Kementerian Perindustian mengungkapkan, bahwa bisnis ini jangka panjang. Dari sisi produksi, sagu bisa menjadi sumber pangan alternatif yang cukup besar.

"Tinggal dikelola menjadi unit bisnis yang baik ke depan," ujarnya.

Dia juga memaparkan, untuk investasi pengembangan sagu yang dimulai dari awal cukup mahal. Masa tanaman belum menghasilkan (TBM) itu panjang, selama 10 tahun. Namun kalau sudah ditanam, sagu bakal menjadi bisnis perkebunan yang abadi.

"Perseroan beruntung terjun ke usaha ini bukan dari nol, karena mengambil-alih perusahaaan sagu di Riau, tepatnya Kabupaten Meranti," katanya.

Keberuntungan yang didapat perusahaan tersebut, juga akan dinikmati perusahaan lainnya jika mampu melirik lahan sagu milik Lingga.

Hal itu juga akan sejalan dengan keinginan pemerintah daerah yang memfokuskan pola Green Investasi dalam menjemput Investor. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE