Catatan Akhir Tahun - Menjawab Tantangan Krisis Air Bersih di Perbatasan

id Catatan,Akhir,Tahun,naim,jannatun,Menjawab,Tantangan,Krisis,Air,Bersih,batam,kepri,Perbatasan

Catatan Akhir Tahun - Menjawab Tantangan Krisis Air Bersih di Perbatasan

Warga memanfaatkan air selokan Simpang Jam, Batam beberapa waktu lalu, untuk keperluan mandi, cuci dan kakus setelah hujan tidak mengguyur selama dua bulan. (antarakepri.com)

Ini untuk cuci-cuci saja dan mandi orang dewasa, dari pada tidak ada air. Sedangkan untuk minum, masak dan mandi anak kami beli air galon kemasan
SEPTEMBER 2015 menjadi awal mimpi buruk bagi masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar Selat Malaka, perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, saat kemarau panjang melanda wilayah itu.

Warga yang tinggal di pulau-pulau penyangga Kota Batam, Kepulauan Riau, terpaksa berlayar ke pulau utama untuk membeli air.

Warga pulau utama Kota Batam pun harus menguras parit untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Masalah air bukanlah hal yang baru bagi warga yang tinggal di pulau-pulau perbatasan NKRI-Singapura, karena sulit menemukan mata air di ratusan pulau itu.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga biasa mengandalkan air hujan.

Di beberapa pulau memang terdapat waduk, namun itu pun terisi air hujan. Tidak ada mata air di sana sehingga bila kemarau datang, waduk menjadi kering.

Warga juga tidak bisa sembarangan menggali sumur untuk mendapatkan air bersih. Selain bisa merusak pulau, air yang didapat dari sumur juga kebanyakan air payau.

Jelas, air merupakan masalah utama bagi masyarakat perbatasan NKRI di Selat Malaka, melebihi masalah listrik dan infrastruktur lain.

Tidak usah menunggu musim kemarau, pada hari-hari biasa saja warga pulau sudah kesulitan mendapatkan air, karena tidak semua pulau memiliki waduk.

Suatu hari pada September 2015, satu keluarga Suku Laut menepi di salah Pulau Rempang Kecamatan Galang.

"Air," satu kata yang keluar dari bibir sang kepala keluarga sambil menunjukkan tumpukan ikan di atas kapal yang juga menjadi rumahnya.

Ia bermaksud menukar semua ikannya dengan beberapa tong air bersih.

"Tak ade air. Nak minum saja boleh," jawab Awang, warga Rempang Cate.

Awang kemudian memberikan beberapa botol air mineral ukuran 1,5 liter kepada suku laut itu.

Sama seperti warga yang tinggal di daratan, Suku Laut pun bergantung pada air hujan yang ditadah khusus di atas rumah kapalnya.

Kemarau panjang akibat El Nino membuat keluarga Suku Laut terpaksa ke darat untuk mencari air.

Sementara di darat, di pulau-pulau penyangga, warga berlayar ke pulau lain untuk mencari air bersih.

"Kami ke Pulau Galang untuk ambil air," cerita Awang.

Di Pulau Belakangpadang, warga membeli air bersih yang dibawa dari pulau utama, Pulau Batam.

"Harganya Rp50.000 satu drum. Bawanya pakai jiriken, jadi ambilnya harus bolak-balik sampai tong penuh," cerita warga Pulau Belakangpadang, Emi.

Satu tong air bersih itu hanya cukup memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya untuk dua hari.

"Mahal memang, tapi mau apa, air dari pipa waduk hanya mengalir sekali dalam empat hari. Tadah hujan pun tak dapat," ujar Emi.

Sementara di pulau utama, warga Pulau Batam juga kesulitan air bersih. Perusahaan Air, PT Adhya Tirta Batam (ATB) memberlakukan pembatasan distribusi air bersih untuk warga yang tinggal di wilayah Kecamatan Batuaji dan Sekupang.

Pekan pertama September 2015, warga kota industri benar-benar merasakan kesulitan air bersih, hal yang tidak pernah dirasakan sejak Otorita Batam membangun kota, 44 tahun lalu.

Puluhan warga Kecamatan Sekupang sampai harus mengambil air parit untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK).

Warga mengambil air di parit-parit sekitar Tiban Mentarau, Sei Harapan dan Patam Lestari untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Minggu (6/9/2015).

"Ini untuk cuci-cuci saja dan mandi orang dewasa, dari pada tidak ada air. Sedangkan untuk minum, masak dan mandi anak kami beli air galon kemasan," kata warga Tiban, Agus.

Corporate Communication Manager PT. ATB, Enriqo Moreno mengatakan kemarau telah menggerus volume air di waduk-waduk yang terdapat di pulau utama karena memang seluruh waduk di Pulau Batam bergantung penuh pada air hujan, tidak ada mata air di sana.

ATB mencatat volume air bersih di seluruh waduk berkurang, bahkan air di Dam Sei Harapan menyusut hingga 3,8 meter pada awal September 2015.

Tantangan

Pemerintah kota melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah air di pulau penyangga.

Wali Kota Batam Ahmad Dahlan menugaskan stafnya untuk memetakan masalah air di setiap pulau, berikut solusi yang bisa diterapkan di masing-masing pulau.

Akhirnya, dua solusi pun ditemukan, yaitu membangun instalasi jaringan air bersih di pulau-pulau yang berdekatan dengan sumber mata air, dan melakukan penyulingan air laut menjadi air bersih.

Seperti di Pulau Teluk Bakau, pemerintah memperbaiki waduk di sana, kemudian menyalurkan airnya ke pulau padat penduduk sekitar, antara lain Pulau Terong.

Waduk seluas 1.800 meter kubik di Pulau Teluk Bakau sejatinya milik warga, Husen, yang kemudian dihibahkan kepada warga Pulau Terong. Air bersih itu dialirkan melalui pipa sepanjang 1.622 meter menuju reservoir yang berada di sisi lain Teluk Bakau pada ketinggian 27,5 mdpl. Kemudian air itu dialirkan ke Pulau Terong untuk melayani sambungan rumah.

Metode yang sama juga dipakai di Pulau Buluh dan Pulau Bulang Kebam. Pemerintah membangun pipa bawah air dari pulau utama, untuk menyalurkan air bersih PT ATB.

Seyogyanya cara yang sama juga akan digunakan untuk masyarakat Pulau Akar, Pulau Kasu dan Pulau Lance.

Seharusnya proyek pembangunan pipa bawah laut dari pulau utama ke tiga pulau penyangga itu dibangun pada 2015 ini. Namun, karena volume air waduk-waduk Pulau Batam terus berkurang, maka pemerintah terpaksa menundanya.

Metode penyulingan air laut menjadi air minum (Sea Water Resouce Osmosis/SWRO) digunakan untuk memenuhi kebutuhan air Pulau Belakangpadang. Pemerintah kota bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum membangun instalasi penyulingan.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Batam Yumasnur menjelaskan pengolahan air laut menjadi air tawar menggunakan mesin berteknologi tinggi. Air dari hasil penyulingan bahkan bisa langsung dikonsumsi.

Sistem yang dibangun akhir 2015 itu diperkirakan menghasilkan debit air hingga 5 liter per detik. Dan, mampu mengaliri sekira 1.200 sambungan rumah, dengan perkiraan tiap rumah mengkonsumsi 10 kubik per bulan.

Di pulau utama, Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Batam yang bertanggung jawab pada ketersediaan air baku meyakinkan kawasan itu tidak akan kekurangan air bersih.

Kepala Bidang Pengelolaan Air dan Limbah BP Kawasan Batam, Tato Wahyu memastikan pasokan air akan cukup hingga tahun-tahun mendatang. "Secara total aman, tapi dilihat dari distribusi tidak semudah itu," kata dia.

Untuk jangka panjang, kata dia, BP Batam sudah menyiapkan waduk baru di Tembesi yang kini tengah dalam proses desalinasi dan akan bisa digunakan paling cepat akhir 2017.

Proses desalinasi, kata dia, juga sangat tergantung dari curah hujan yang terjadi di wilayah Batam mengingat prosesnya alami tanpa bantuan mesin. "Waduk tersebut mengantisipasi meningkatnya jumlah penduduk yang secara otomatis juga akan membutuhkan air dalam jumlah lebih besar," kata Tutu.

BP Batam, kata dia, terus berupaya mencari sumber air baku lain mengingat Kota Batam tidak memiliki sumber air alami.

Sementara itu, seiring dengan makin banyaknya curah hujan pada Desember 2015, volume air di waduk mulai kembali normal.

ATB mencatat Dam Sei Harapan yang sempat menyusut hingga 3,8 meter, kini hanya menyusut 0,15 meter.

Dan sejak 23 Desember 2015, PT ATB sudah bisa mengalirkan air ke pelanggan secara normal.  (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE