Mencari Solusi Mengatasi Krisis Anggaran Kepri

id Solusi,Krisis,Anggaran,penalti,apbd,2016,Kepri,dbh,dana,bagi,migas

Pemerintah provinsi dalam kondisi rumit karena anggaran tahun ini kembali mengalami defisit akibat pengurangan dana bagi hasil
PEMERINTAH Provinsi Kepulauan Riau kini dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik, menyangkut keterbatasan anggaran untuk mendanai berbagai proyek pembangunan di provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga Singapura tersebut.

Hal tersebut disebabkan target anggaran yang sudah masuk dalam Rancangan Peraturan Daerah APBD Kepri 2015 ternyata sedikit meleset.

"Pemerintah provinsi dalam kondisi rumit karena anggaran tahun ini kembali mengalami defisit akibat pengurangan dana bagi hasil," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Kepri Naharuddin.

Seusai menghadiri rapat paripurna persetujuan Ranperda APBD Kepri 2016 di Kantor DPRD Kepri, Kamis (7/1), Naharuddin mengatakan berdasarkan peraturan presiden, wilayah ini hanya menerima dana bagi hasil sebesar Rp17 miliar.

"Ini penurunan yang luar biasa. Kepri dalam kondisi gawat, dengan keuangan yang berkurang jauh," katanya.

Dia mengatakan peraturan presiden yang mengatur dana bagi hasil diterima Pemerintah Kepri akhir Desember 2015. Padahal Pemerintah Kepri menargetkan tahun ini mendapat dana bagi hasil sebesar Rp400 miliar.

Mekanisme penghitungan dana bagi hasil sudah terjadwal, sebagai penerimaan daerah, mengacu pada tahun sebelumnya.

Namun peraturan presiden menegaskan dana bagi hasil untuk Kepri hanya Rp17 miliar. Akibatnya, banyak kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan.

"Penurunan dana bagi hasil yang terlalu tinggi menyebabkan pembangunan terhambat. Kami terpaksa mengubah kembali kegiatan yang sudah diajukan dalam Ranperda APBD Kepri 2016," ujarnya.

Naharuddin menjelaskan penghitungan dan penetapan dana bagi hasil merupakan wewenang pemerintah pusat. Penghitungan dipengaruhi produksi migas, harga dan nilai tukar dolar Amerika Serikat.

Namun sampai sekarang Pemerintah Kepri belum mengetahui berapa migas yang diproduksi dan harganya.

"Ini tiga faktor penting yang memengaruhi," katanya.

Kepri merupakan wilayah penghasil migas. Berdasarkan peraturan presiden, pola pembagian untuk minyak sebesar 15 persen dari produksi, dengan rincian 6 persen untuk kabupaten penghasil yakni Anambas dan Natuna, 6 persen pemerataan kabupaten dan kota, dan 3 persen untuk dikelola Pemerintah Kepri.

Sementara pembagian gas sebesar 30 persen kembali ke daerah, dengan rincian 12 persen untuk Natuna dan Anambas,12 persen pemerataan kabupaten dan kota,dan 6 persen untuk provinsi.

"Penurunan yang sangat luar biasa, mendorong kami untuk mempertanyakan meminta penjelasan kepada pemerintah pusat. Dalam waktu dekat kami akan meminta pejabat Kemenkeu untuk menjelaskan permasalahan ini," katanya.

Tidak Transparan

Penghitungan dana bagi hasil (DBH) migas tidak transparan sehingga menimbulkan permasalahan besar di daerah, kata Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Riau Ing Iskandarsyah.

"Selama pembahasan hingga persetujuan anggaran, tim anggaran pemerintah daerah dan pihak legislatif tidak mengetahui berapa DBH migas untuk Kepri. Pemerintah pusat menunjukkan sikap tidak transparan," tambahnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menjelaskan pembagian lifting (produksi minyak dan gas bumi yang terjual) sampai sekarang tidak diketahui Pemerintah Kepri, meski pola pembagian untuk minyak sudah ditetapkan.

Pemerintah Kepri terpaksa menghitung DBH migas berdasarkan kondisi tahun sebelumnya. Padahal Pemerintah Kepri sudah berulang kali meminta data terkait DBH migas tersebut.

Pemerintah Kepri baru mengetahui nilai DBH migas akhir Desember 2015. Padahal pembahasan anggaran 2016 sudah dilaksanakan sejak Oktober 2015.

Nilai DBH migas untuk Kepri pun meleset dari yang dihitung dalam pembahasan anggaran. Pemerintah Kepri menargetkan pendapatan dari DBH migas sebesar Rp400 miliar, sementara berdasarkan peraturan presiden, Kepri hanya mendapat Rp17 miliar.

Akibat dari permasalahan itu, lanjutnya berbagai kegiatan terpaksa direvisi setelah Ranperda APBD Kepri disetujui.

"Ini menimbulkan kecurigaan dan salah paham di internal pemerintahan daerah. Kegiatan-kegiatan terpaksa harus direvisi," katanya.

Selain permasalahan itu, dia mengatakan DBH untuk Kepri tahun 2015 sebesar Rp171 miliar sampai awal tahun 2016 juga belum disalurkan. Padahal Biro Keuangan Pemerintah Kepri masih menunggu di Kementerian Keuangan.

Akibatnya, banyak kegiatan yang dilaksanakan kontraktor belum dapat dibayar Pemerintah Kepri.

"Penurunan DBH migas tahun 2015 untuk Kepri baru diketahui pada Februari 2015. Ini menimbulkan situasi yang tidak baik," ujarnya.

Minta Penjelasan

Anggota Komisi II DPRD Kepri Rudy Chua, di Tanjungpinang, mengatakan Tahun 2016 Pemerintah Kepri hanya mendapat Rp12 miliar, bukan Rp17 miliar, jauh di bawah target.

Padahal Kepri merupakan wilayah penghasil migas, sama seperti wilayah lainnya yang justru mengalami kenaikan DBH, seperti Sumsel dan Riau.

Pemerintah Kepri seperti meraba-raba di dalam kegelapan. Kondisi ini memperburuk Kepri, karena tidak dapat melaksanakan pembangunan secara maksimal.

"Ini yang membuat kami bingung, bagaimana teknis penyaluran DBH tersebut sehingga terjadi selisih paham. Seharusnya terbuka, dan diketahui berapa DBH yang sudah disalurkan," katanya.

Politikus Partai Hati Nurani Rakyat itu mengemukakan dua permasalahan lainnya terkait dana bagi hasil (DBH) tahun 2015, yang ditargetkan diterima Kepri sekitar Rp700 miliar, berkurang menjadi sekitar Rp400 miliar.

Namun DBH belum disalurkan ke Kepri secara keseluruhan. DBH yang belum disalurkan ke Kepri sekitar Rp171 miliar.

Hingga sekarang Pemerintah Kepri masih mempertanyakan dan mendesak pemerintah pusat menyalurkannya. Kementerian Keuangan justru menyatakan terjadi kelebihan penyaluran DBH Kepri, sementara Pemerintah Kepri belum menerimanya.

Kementerian Keuangan juga tidak dapat menjelaskan berapa dana yang sudah disalurkan sehingga diklaim lebih. Pihak kementerian juga tidak menjelaskan kapan dan sistem penghitungan DBH tersebut.

Jika DBH tersebut dikelola secara transparan, kata dia, tidak mungkin terjadi permasalahan seperti yang terjadi sekarang. Pihak Kemenkeu justru melimpahkan permasalahan itu kepada Kementerian ESDM, karena mereka merasa hanya berfungsi seperti bendahara.

Sementara pihak Kementerian ESDM tidak dapat menjelaskan lifting migas dan biaya operasional yang mempengaruhi nilai DBH yang diterima Kepri. Apalagi di tahun 2016, lanjutnya target DBH sebesar Rp400 miliar kembali turun drastis.

"Pemerintah Kepri siap-siap menghadapi gugatan dari pihak ketiga atau kontraktor yang sudah menyelesaikan pekerjaan, tetapi belum dibayar," ujarnya.

Sementara terkait dana tunda salur tahun 2014 sebesar Rp228 miliar baru diterima Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau baru-baru ini.

Dana tunda salur akan digunakan untuk kegiatan pemerintahan, termasuk pembayaran utang.

"Kepri menghadapi tiga permasalahan tahun ini, salah satunya dana tunda salur tahun 2014 yang baru disalurkan beberapa hari lalu," katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kepri Sirajudin Nur mengatakan permasalahan DBH migas yang dihadapi Pemerintah Kepri cukup pelik, karena mempengaruhi pembangunan. Seharusnya, pemerintah pusat tidak menunda hak Kepri untuk mendapatkan sisa DBH tersebut.

"Ini sudah mengganggu pelaksanaan pemerintahan," ujarnya.

Sanksi

Sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berangkat ke Jakarta untuk melobi Menteri Dalam Negeri agar tidak memberikan penalti atas keterlambatan menyetujui anggaran.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kepri Sirajudin Nur, mengatakan penalti dapat menyebabkan pembangunan di wilayah ini terhambat.

"Penundaan dalam pengelolaan anggaran selama enam bulan menyebabkan pembangunan terhambat. Kepri juga dapat dikenakan sanksi pemotongan anggaran dari pusat sebesar Rp25 miliar," ucapnya.

Sirajudin mengemukakan Ranperda APBD Kepri 2016 disetujui pada pekan lalu lantaran mengalami masa transisi kepemimpinan.

Tahun 2015 terjadi tiga kali pergantian kepala daerah yakni masa jabatan HM Sani-Soerya Respationo berakhir pada 19 Agustus 2015 sehingga diganti Agung Mulyana sebagai Penjabat Gubernur Kepri. Baru beberapa bulan menjabat, Agung pensiun sebagai PNS sehingga diganti Nuryanto.

"Berdasarkan ketentuan yang berlaku seharusnya rancangan anggaran disetujui sebelum masuk tahun anggaran yang baru. Artinya, Ranperda APBD Kepri 2016 seharusnya disetujui paling lama Desember 2015," ujarnya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menambahkan Ranperda APBD Kepri 2016 yang semula disetujui DPRD Kepri pada 26 Desember 2015 ditolak Mendagri karena proses pembahasan dan pengesahan anggaran tidak sesuai prosedur. Saat itu, Ranperda APBD Kepri 2016 disetujui melalui kesepakatan 20 anggota DPRD Kepri, karena tidak kuorum.

Rapat paripurna sulit kuorum lantaran anggota legislatif terlibat dalam Pilkada Kepri 2015, karena itu "dipaksa" untuk disahkan pada 26 Desember 2015, meski jumlah anggota legislatif yang hadir tidak mencapai minimal 29 orang atau dua pertiga dari 43 orang.

"Sulit untuk kuorum, karena kesibukan politik pilkada," katanya. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE