SD di Tambelan Hampir Roboh

id SD di Tambelan Hampir Roboh

Sebagai pulau terisolir dan jauh dari ibukota Kabupaten Bintan, mungkin sangat sulit bagi pemerintah untuk memperhatikan pendidikan di Tambelan.
Bintan (Antara Kepri) - Kondisi sekolah di salah satu desa Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, jangankan untuk memajang lambang negara atau foto Presiden Indonesia Joko Widodo, untuk menyangkutkan papan tulis saja sulit dilakukan.

Bukan berarti tidak mengaku kedaulatan NKRI atau tidak cinta Tanah Air. Tapi, karena bangunan SD Kelas Jauh 007 Pulau Mentebung Kecamatan Tambelan ini, tak berdinding sebagian dan tak kokoh.

"Sedih saya melihatnya, seperti bukan lagi  wilayah Indonesia," kata Kepala UPT Dinas   Pendidikan Kecamatan Tambelan, Baharudin, Kamis.

Baharudin yang baru menjabat UPT beberapa bulan lalu ini menyadari bahwa sebagai pulau terisolir dan jauh dari ibukota Kabupaten Bintan ini. Mungkin sangat sulit bagi pemerintah untuk memperhatikan aspek pendidikan di Tambelan.

Tapi, bukan berarti tak ada upaya dari masyarakat tempatan sendiri untuk mengusulkan perbaikan bangunan sekolah tersebut melalui Musrembang atau sarana komunikasi lainnya. Namun, suara masyarakat hanya sekedar bisikan yang samar-samar terdengar.

Tidak heran, siswa tak pernah liat siapa presidennya saat ini, meskipun hanya secarik gambar. Bahkan di HUT ke 71 Indonesia ini. Atribut kemerdekaan tidak terpasang dan tak meriah di pulau tersebut.

Baharudin menceritakan, usulan perbaikan sudah dimulai dari 2014, 2015, sampai pada 2016, melalui musrembang, DAK dinas pendidikan, sampai pada usulan melalui daerah perbatasan. Namun, belum juga ada jawaban pasti dari pihak yang bertanggung jawab terhadap amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Kerusakan ini sudah terjadi sekitar 2003 lalu, sudah juga disampaikan sejak 2014 lalu. Tapi, tak juga ada jawaban dari aspirasi kami sebagai masyarakat Tambelan," ucapnya yang mengenang pernah berprofesi sebagai guru di sekolah tersebut.

Menurutnya, bangunan semi permanen yang terletak di pinggir pantai tersebut hanya terdiri dari dua ruangan. Masing-masing ruangan digunakan untuk proses belajar mengajar dengan pola belajar rangkap, secara serentak kepada 23 siswa dari kelas 1 sampai 6.

"Kelas 1, 2, dan 3, satu lokal. Lalu kelas 4, 5, dan 6, satu lokal," ucapnya.

Situasi belajar pun diakuinya masih tergantung pada kondisi alam. Karena, jika hujan, proses belajar terhenti. Dan apabila panas terik, proses belajar tak bisa dilanjutkan.

"Tak mungkin dipaksakan, karena kami juga melihat kondisi fisik anak yang tidak mungkin menerima pelajaran dengan kondisi dalam kelas dapat melihat langit," ucapnya.

Belum lagi kondisi lantai sekolah yang sudah hancur. Sehingga, bangunan sekolah tersebut berlantaikan pasir pantai.
Di dalam ancaman rubuhnya sekolah tersebut, siswa tetap belajar. Walau terkadang, harus berteduh di celah atap teduh menghidari sengatan matahari dan ludah air hujan.

"Proses belajar tetap kami lakukan, karena tak ada rumah penduduk yang bisa menampung siswa," tuturnya.

Melihat belum ada bukti pekanya pemerintah terhadap pendidikan atas usulan perbaikan sekolah. Guru setempat berinisiatif merubuhkan potongan kayu plapon yang menjuntai dan mengganti lambaian seng karat yang siap menimpa kepala.

"Biasanya kami mengganti 1 atau 2 seng, tapi lebih dari pada itu, belum mampu kami lakukan," ucapnya.

Untuk tenaga pendidik, Baharudin mengaku 3 guru PNS dan 4 honor yang ditugaskan dengan jarak tempuh laut hampir 8 jam dari kecamatan tersebut juga belum mendapat fasilitas rumah dinas yang layak. Karena, kondisi rumah guru imbang dengan kondisi sekolah.

"Kami sudah fasilitasi transportasi laut dengan pompong ke sana, tapi lagi-lagi semua tergantung kondisi alam. Karena jarak yang ditempuh, tidak dekat," tegasnya.

"Kepada pemerintahan Bintan yang baru ini, memang ada janji untuk menganggarkan perbaikan sekolah pada 2017, semoga cepat terwujud," ucapnya.

Baharudin berharap, bangunan tersebut tidak rubuh yang dapat mencederai siswa dan guru di bawahnya. Karena, jika hal itu terjadi, tidak ada lagi tempat bagi 23 siswa tersebut belajar dengan nyaman, senyaman belajar di sekolah lain. (Antara)

Editor: Evy R. Syamsir

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE