Jakarta (ANTARA) - Penurunan uang kripto seperti Bitcoin dan Etherum yang terjadi dalam seminggu terakhir karena adanya gerakan menjual uang kripto di seluruh dunia akibat tekanan ekonomi dan kekhawatiran atas inflasi, kata Analis dan praktisi hukum di Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen.
Menurut dia, perang antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan terganggunya pergerakan ekonomi di Eropa dan kenaikan faktor suku bunga pinjaman mengakibatkan inflasi yang cukup tinggi dan akan terus naik.
Oleh karena itu, para investor cenderung menjual aset yang berisiko, misalnya tidak memiliki fundamental atau underlying yang pasti, dalam hal ini mata uang kripto, kata Hendra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Dalam seminggu terakhir, Bitcoin dan Etherum mengalami tren penurunan lebih dari 20 persen. Namun, ada juga uang kripto Terra Luna yang turun hingga 90 persen.
“Selama perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung kemungkinan kripto akan terus turun karena kinerja stablecoin Terra USD juga terus memburuk. Selain itu, pasar kripto juga menunjukkan arah bubble karena memang overvalue. Koreksi terhadap harga akan terjadi cepat atau lambat,” kata Hendra.
Hendra melanjutkan, “Walaupun sudah bubble, tapi saya melihat gelembung harga kripto belum akan pecah. Melihat tren kenaikan dan penurunan selama ini, kripto memang cenderung turun tajam, dan kemudian naik tinggi. Tidak ada ukuran jelas untuk memprediksi nilai aktual aset tanpa fundamental adalah salah satu alasan kripto termasuk produk berisiko dan berbahaya untuk investasi.”
Selain itu, Hendra juga menyoroti penurunan penjualan NFT (non-fungible token) sejak September 2021 hingga mencapai 92 persen, seperti yang terjadi atas nilai NFT berupa twit pertama pendiri Twitter, Jack Dorsey, dari nilai pembelian 2,9 juta dolar AS dan pada April lalu dinilai hanya 280 dolar AS.
“Dari awal saya sudah melihat NFT itu tidak wajar. Pada dasarnya, NFT hanya membeli data digital, padahal data digital mudah disalin siapa pun secara gratis. Kalau begitu, apa gunanya membeli NFT dengan harga mahal? Yang namanya membeli barang harus disertai kepemilikan secara eksklusif. Kalau kita sudah membeli, tapi orang lain dapat memiliki barang yang persis sama secara cuma-cuma,” jelas Hendra.
Hendra memberikan saran kepada calon investor untuk selalu menekankan produk investasi dengan nilai fundamental atau underlying.
"Calon investor harus rajin mempelajari fundamental produk. Jangan cepat terbuai dengan bujuk rayu marketing. Bagaimanapun mereka punya kepentingan berupa komisi, tapi mereka tidak akan bertanggung jawab, kalau ada apa-apa dengan produk tersebut," ujarnya.
Produk yang dijual mengandalkan influencers atau selebritas juga perlu diwaspadai, apalagi kalau sekadar memamerkan aset pribadi seolah-olah hasil investasi di produk tersebut.
Menurut dia, bukan saja karena beberapa influencers produk investasi yang saat ini berhadapan dengan hukum, tapi sebenarnya dari awal semua calon investor perlu mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas dari para selebritis itu soal investasi.
"Intinya, jadilah investor yang cerdas dan tidak latah atau FOMO (fear of missing out)/takut ketinggalan," tutup Hendra.
Menurut dia, perang antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan terganggunya pergerakan ekonomi di Eropa dan kenaikan faktor suku bunga pinjaman mengakibatkan inflasi yang cukup tinggi dan akan terus naik.
Oleh karena itu, para investor cenderung menjual aset yang berisiko, misalnya tidak memiliki fundamental atau underlying yang pasti, dalam hal ini mata uang kripto, kata Hendra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Dalam seminggu terakhir, Bitcoin dan Etherum mengalami tren penurunan lebih dari 20 persen. Namun, ada juga uang kripto Terra Luna yang turun hingga 90 persen.
“Selama perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung kemungkinan kripto akan terus turun karena kinerja stablecoin Terra USD juga terus memburuk. Selain itu, pasar kripto juga menunjukkan arah bubble karena memang overvalue. Koreksi terhadap harga akan terjadi cepat atau lambat,” kata Hendra.
Hendra melanjutkan, “Walaupun sudah bubble, tapi saya melihat gelembung harga kripto belum akan pecah. Melihat tren kenaikan dan penurunan selama ini, kripto memang cenderung turun tajam, dan kemudian naik tinggi. Tidak ada ukuran jelas untuk memprediksi nilai aktual aset tanpa fundamental adalah salah satu alasan kripto termasuk produk berisiko dan berbahaya untuk investasi.”
Selain itu, Hendra juga menyoroti penurunan penjualan NFT (non-fungible token) sejak September 2021 hingga mencapai 92 persen, seperti yang terjadi atas nilai NFT berupa twit pertama pendiri Twitter, Jack Dorsey, dari nilai pembelian 2,9 juta dolar AS dan pada April lalu dinilai hanya 280 dolar AS.
“Dari awal saya sudah melihat NFT itu tidak wajar. Pada dasarnya, NFT hanya membeli data digital, padahal data digital mudah disalin siapa pun secara gratis. Kalau begitu, apa gunanya membeli NFT dengan harga mahal? Yang namanya membeli barang harus disertai kepemilikan secara eksklusif. Kalau kita sudah membeli, tapi orang lain dapat memiliki barang yang persis sama secara cuma-cuma,” jelas Hendra.
Hendra memberikan saran kepada calon investor untuk selalu menekankan produk investasi dengan nilai fundamental atau underlying.
"Calon investor harus rajin mempelajari fundamental produk. Jangan cepat terbuai dengan bujuk rayu marketing. Bagaimanapun mereka punya kepentingan berupa komisi, tapi mereka tidak akan bertanggung jawab, kalau ada apa-apa dengan produk tersebut," ujarnya.
Produk yang dijual mengandalkan influencers atau selebritas juga perlu diwaspadai, apalagi kalau sekadar memamerkan aset pribadi seolah-olah hasil investasi di produk tersebut.
Menurut dia, bukan saja karena beberapa influencers produk investasi yang saat ini berhadapan dengan hukum, tapi sebenarnya dari awal semua calon investor perlu mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas dari para selebritis itu soal investasi.
"Intinya, jadilah investor yang cerdas dan tidak latah atau FOMO (fear of missing out)/takut ketinggalan," tutup Hendra.