Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga pascapenetapan Kepala Basarnas sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin.
Diketahui KPK pada Rabu (26/7) telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK lantaran diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.
Namun pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.
Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).
Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan (kemenhan), Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung.
Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Persoalan muncul karena Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa KPK "Berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Sedangkan Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer".
Terlebih dalam pembahasan internal perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Mabes TNI mengajukan usulan agar prajurit aktif dapat lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Presiden Jokowi akan evaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin.
Diketahui KPK pada Rabu (26/7) telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK lantaran diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.
Namun pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.
Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).
Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan (kemenhan), Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung.
Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Persoalan muncul karena Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa KPK "Berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Sedangkan Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer".
Terlebih dalam pembahasan internal perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Mabes TNI mengajukan usulan agar prajurit aktif dapat lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Presiden Jokowi akan evaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil