Birmingham, Inggris (ANTARA) - Otoritas Palestina (PA) tidak memiliki keinginan memerintah Gaza setelah konflik Israel - Hamas tanpa perjanjian komprehensif mencakup Tepi Barat di negara Palestina, kata perdana menteri otoritas tersebut, Mohammad Shtayyeh.
Pejabat Israel sebelumnya mengatakan rencana mereka untuk mengakhiri perang Gaza adalah dengan membentuk semacam otoritas transisi yang memerintah wilayah tersebut, yang mengarah pada pemulihan Otoritas Palestina.
Berbicara kepada kantor berita Guardian untuk sebuah artikel yang diterbitkan pada hari Senin, Mohammad Shtayyeh, yang telah menjadi perdana menteri sejak 2019, mengatakan Otoritas Palestina tidak akan bekerja sama tanpa kembali ke proses perdamaian sejati yang menghasilkan dua negara berdaulat.
“Untuk meminta Otoritas Palestina pergi ke Gaza dan menjalankan urusan Gaza tanpa solusi politik untuk Tepi Barat, seolah-olah Otoritas Palestina akan menaiki F-16 atau tank Israel? Saya tidak menerimanya. Presiden kami (Mahmoud Abbas) tidak menerimanya. Tak satu pun dari kami akan menerimanya,” katanya.
"Saya pikir apa yang kami butuhkan adalah visi yang komprehensif dan damai, Tepi Barat membutuhkan solusi, dan kemudian menghubungkan Gaza dengan wilayah tersebut dalam kerangka solusi dua negara.”
Bagi Shtayyeh, prioritas utama adalah menghentikan pemboman di Gaza serta kekerasan di Tepi Barat, yang menewaskan 110 warga Palestina tewas dalam waktu tiga minggu oleh pasukan dan pemukim Israel.
Pemerintahan Otoritas Palestina telah meminta KTT darurat Arab yang diharapkan Shtayyeh dapat berlangsung pada 10 November untuk memulihkan persatuan dalam pembentukan negara Palestina yang fungsional.
Menanggapi meningkatnya kemarahan publik terhadap Otoritas Palestina atas ketidakmampuannya membela kehidupan warga Palestina, Shtayyeh menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan gerakan non-kekerasan hanya untuk mendapatkan kembali popularitas.
Presiden Abbas “bisa menjadi populer dalam satu menit. Dia bisa berkata: 'Oke, saya perintahkan pasukan keamanan Palestina untuk menembaki orang Israel.' Tapi dia adalah orang yang realistis.”
Namun, Shtayyeh juga mengakui bahwa kemarahan semakin meningkat dan situasi di Tepi Barat “mendidih” dan menjadi “sangat berbahaya.”
“Kita berada dalam situasi yang sulit untuk dapat membuat keputusan tepat,” katanya.
Sementara itu, dalam pemberitaan sebelumnya disebutkan Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan gencatan senjata kemanusiaan untuk melindungi warga sipil di Jalur Gaza, yang menghadapi pengeboman besar-besaran saat perang antara Israel dan kelompok Hamas Palestina terus berlanjut.
“Saya mengulangi seruan saya untuk gencatan senjata kemanusiaan untuk melindungi rakyat Gaza,” kata Macron di X pada Minggu (29/10).
Dia mengatakan 17 ton bantuan kemanusiaan dari Prancis telah sampai di Mesir.
"Kami melanjutkan upaya kami melalui udara dan laut. Bersama-sama, dalam solidaritas, bersama Mesir dan Bulan Sabit Merah," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Prancis mengutuk peningkatan kekerasan yang dilakukan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat dan menyerukan agar kekerasan tersebut segera diakhiri.
“Prancis mengutuk keras serangan pemukim yang menyebabkan kematian beberapa warga sipil Palestina selama beberapa hari terakhir di Qusra dan Sawiya, serta pengusiran paksa sejumlah orang," kata Kemlu Prancis dalam sebuah pernyataan.
“Kekerasan yang dilakukan oleh pemukim terhadap penduduk Palestina semakin meningkat. Ini tidak dapat diterima dan harus dihentikan.”
Israel telah membombardir Gaza sejak 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan ke wilayah Israel.
Jumlah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel di Gaza telah bertambah menjadi 8.005, termasuk 3.342 anak-anak, 2.062 perempuan, dan 460 orang lanjut usia, menurut kementerian kesehatan setempat.
Lebih dari 1.400 warga Israel tewas dalam konflik tersebut.
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari pada Sabtu (28/10) mengumumkan bahwa pasukan Israel memperluas operasi mereka dan beralih ke tahap berikutnya dalam perang melawan Hamas, yang mencakup serangan darat.
Sementara itu, 2,3 juta penduduk Gaza menghadapi kekurangan makanan, air, bahan bakar, dan obat-obatan akibat blokade Israel terhadap wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Otoritas Palestina tolak memerintah Gaza tanpa solusi untuk Tepi Barat
Pejabat Israel sebelumnya mengatakan rencana mereka untuk mengakhiri perang Gaza adalah dengan membentuk semacam otoritas transisi yang memerintah wilayah tersebut, yang mengarah pada pemulihan Otoritas Palestina.
Berbicara kepada kantor berita Guardian untuk sebuah artikel yang diterbitkan pada hari Senin, Mohammad Shtayyeh, yang telah menjadi perdana menteri sejak 2019, mengatakan Otoritas Palestina tidak akan bekerja sama tanpa kembali ke proses perdamaian sejati yang menghasilkan dua negara berdaulat.
“Untuk meminta Otoritas Palestina pergi ke Gaza dan menjalankan urusan Gaza tanpa solusi politik untuk Tepi Barat, seolah-olah Otoritas Palestina akan menaiki F-16 atau tank Israel? Saya tidak menerimanya. Presiden kami (Mahmoud Abbas) tidak menerimanya. Tak satu pun dari kami akan menerimanya,” katanya.
"Saya pikir apa yang kami butuhkan adalah visi yang komprehensif dan damai, Tepi Barat membutuhkan solusi, dan kemudian menghubungkan Gaza dengan wilayah tersebut dalam kerangka solusi dua negara.”
Bagi Shtayyeh, prioritas utama adalah menghentikan pemboman di Gaza serta kekerasan di Tepi Barat, yang menewaskan 110 warga Palestina tewas dalam waktu tiga minggu oleh pasukan dan pemukim Israel.
Pemerintahan Otoritas Palestina telah meminta KTT darurat Arab yang diharapkan Shtayyeh dapat berlangsung pada 10 November untuk memulihkan persatuan dalam pembentukan negara Palestina yang fungsional.
Menanggapi meningkatnya kemarahan publik terhadap Otoritas Palestina atas ketidakmampuannya membela kehidupan warga Palestina, Shtayyeh menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan gerakan non-kekerasan hanya untuk mendapatkan kembali popularitas.
Presiden Abbas “bisa menjadi populer dalam satu menit. Dia bisa berkata: 'Oke, saya perintahkan pasukan keamanan Palestina untuk menembaki orang Israel.' Tapi dia adalah orang yang realistis.”
Namun, Shtayyeh juga mengakui bahwa kemarahan semakin meningkat dan situasi di Tepi Barat “mendidih” dan menjadi “sangat berbahaya.”
“Kita berada dalam situasi yang sulit untuk dapat membuat keputusan tepat,” katanya.
Sementara itu, dalam pemberitaan sebelumnya disebutkan Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan gencatan senjata kemanusiaan untuk melindungi warga sipil di Jalur Gaza, yang menghadapi pengeboman besar-besaran saat perang antara Israel dan kelompok Hamas Palestina terus berlanjut.
“Saya mengulangi seruan saya untuk gencatan senjata kemanusiaan untuk melindungi rakyat Gaza,” kata Macron di X pada Minggu (29/10).
Dia mengatakan 17 ton bantuan kemanusiaan dari Prancis telah sampai di Mesir.
"Kami melanjutkan upaya kami melalui udara dan laut. Bersama-sama, dalam solidaritas, bersama Mesir dan Bulan Sabit Merah," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Prancis mengutuk peningkatan kekerasan yang dilakukan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat dan menyerukan agar kekerasan tersebut segera diakhiri.
“Prancis mengutuk keras serangan pemukim yang menyebabkan kematian beberapa warga sipil Palestina selama beberapa hari terakhir di Qusra dan Sawiya, serta pengusiran paksa sejumlah orang," kata Kemlu Prancis dalam sebuah pernyataan.
“Kekerasan yang dilakukan oleh pemukim terhadap penduduk Palestina semakin meningkat. Ini tidak dapat diterima dan harus dihentikan.”
Israel telah membombardir Gaza sejak 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan ke wilayah Israel.
Jumlah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel di Gaza telah bertambah menjadi 8.005, termasuk 3.342 anak-anak, 2.062 perempuan, dan 460 orang lanjut usia, menurut kementerian kesehatan setempat.
Lebih dari 1.400 warga Israel tewas dalam konflik tersebut.
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari pada Sabtu (28/10) mengumumkan bahwa pasukan Israel memperluas operasi mereka dan beralih ke tahap berikutnya dalam perang melawan Hamas, yang mencakup serangan darat.
Sementara itu, 2,3 juta penduduk Gaza menghadapi kekurangan makanan, air, bahan bakar, dan obat-obatan akibat blokade Israel terhadap wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Otoritas Palestina tolak memerintah Gaza tanpa solusi untuk Tepi Barat