Jakarta (ANTARA
News) - Mantan Presiden BJ Habibie menegaskan, Pancasila bukan milik
satu rezim pemerintahan. Upaya melupakan ideologi itu sebagai trauma
sejarah adalah kesalahan besar bangsa Indonesia.
"Harus diakui bahwa dimasa lalu, Pancasila telah diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli penafsiran untuk digunakan melanggengkan kekuasaan," ujar Habibie Saat menghadiri peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila 1 Juni di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta,
Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim, Habibie melanjutkan, muncul demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggap sebagai ikon atau simbol politik rezim sebelumnya. Pancasila disalahkan sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
"Menurut saya, ini merupakan kesalahan mendasar karena Pancasila bukan merupakan representasi sekelompok orang, golongan atau orde pemerintahan tertentu, melainkan pondasi dasar bangunan negara Indonesia," ujarnya.
Pada bagian lain pidatonya, Habibie menegaskan bahwa Pancasila sudah mengalami berbagai ujian sejak zaman demokrasi parlementer, terpimpin, hingga multi partai saat ini.
Namun, Habibie juga mempertanyakan dimana posisi Pancasila sekarang ini. "Pertanyaan ini penting karena sejak reformasi bergulir, ideologi bangsa itu seolah tenggelam dari memori kolektif bangsa ini," ujarnya seraya menambahkan fakta bahwa Pancasila semakin jarang dikutip, dibahas dan apalagi diterapkan dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara.
Hiruk pikuk demokrasi dan kebebasan berpolitik di indonesia saat ini, kata Habibie, tidak pernah lagi menyertakan Pancasila itu.
Atas berbagai fenomena itu, Habibie mengemukakan penjelasannya atas sejumlah penyebabnya, yakni adanya situasi kehidupan bangsa telah berubah dalam konteks nasional, regional dan global dan hal itu akan terus terjadi.
Penyebab berikutnya adalah perkembangan khasanah hak asasi manusia yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia.
"Padahal hak harus diimbangi dengan kewajiban," ujarnya. Selanjutnya juga ada faktor lonjakan kemajuan informasi di masyarakat. Ketiga perubahan itu, menurut Habibie, telah mendorong pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut Habibie mengemukakan bahwa atas semua perubahan itu, perlu adanya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai jawabannya. Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia terasa kering sebelum adanya reaktualisasi nilai-nilai pancasila itu.
"Orde lama, orde baru dan orde manapun, Pancasila tetap jadi jati diri bangsa ini. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, bangsa ini akan kehilangan arah perjalanannya," ujar Habibie dan disambut tepuk tangan para hadirin.
Habibie juga menilai bahwa reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya ditengah semakin maraknya faham radikalisme saat ini.
(*)
"Harus diakui bahwa dimasa lalu, Pancasila telah diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli penafsiran untuk digunakan melanggengkan kekuasaan," ujar Habibie Saat menghadiri peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila 1 Juni di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta,
Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim, Habibie melanjutkan, muncul demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggap sebagai ikon atau simbol politik rezim sebelumnya. Pancasila disalahkan sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
"Menurut saya, ini merupakan kesalahan mendasar karena Pancasila bukan merupakan representasi sekelompok orang, golongan atau orde pemerintahan tertentu, melainkan pondasi dasar bangunan negara Indonesia," ujarnya.
Pada bagian lain pidatonya, Habibie menegaskan bahwa Pancasila sudah mengalami berbagai ujian sejak zaman demokrasi parlementer, terpimpin, hingga multi partai saat ini.
Namun, Habibie juga mempertanyakan dimana posisi Pancasila sekarang ini. "Pertanyaan ini penting karena sejak reformasi bergulir, ideologi bangsa itu seolah tenggelam dari memori kolektif bangsa ini," ujarnya seraya menambahkan fakta bahwa Pancasila semakin jarang dikutip, dibahas dan apalagi diterapkan dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara.
Hiruk pikuk demokrasi dan kebebasan berpolitik di indonesia saat ini, kata Habibie, tidak pernah lagi menyertakan Pancasila itu.
Atas berbagai fenomena itu, Habibie mengemukakan penjelasannya atas sejumlah penyebabnya, yakni adanya situasi kehidupan bangsa telah berubah dalam konteks nasional, regional dan global dan hal itu akan terus terjadi.
Penyebab berikutnya adalah perkembangan khasanah hak asasi manusia yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia.
"Padahal hak harus diimbangi dengan kewajiban," ujarnya. Selanjutnya juga ada faktor lonjakan kemajuan informasi di masyarakat. Ketiga perubahan itu, menurut Habibie, telah mendorong pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut Habibie mengemukakan bahwa atas semua perubahan itu, perlu adanya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai jawabannya. Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia terasa kering sebelum adanya reaktualisasi nilai-nilai pancasila itu.
"Orde lama, orde baru dan orde manapun, Pancasila tetap jadi jati diri bangsa ini. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, bangsa ini akan kehilangan arah perjalanannya," ujar Habibie dan disambut tepuk tangan para hadirin.
Habibie juga menilai bahwa reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya ditengah semakin maraknya faham radikalisme saat ini.
(*)