Bogota, Kolombia (ANTARA) - Presiden Venezuela Nicolas Maduro menegaskan negaranya siap memasuki "perjuangan bersenjata" jika diserang Amerika Serikat.
Dia mengatakan meski saat ini Venezuela masih berada pada fase "perjuangan tanpa senjata," setiap serangan akan memicu perlawanan dari "seluruh rakyat melawan agresi, baik lokal, regional, maupun nasional."
Pernyataan Maduro itu muncul pada Jumat setelah Trump mengatakan bahwa jet-jet tempur Venezuela akan "ditembak jatuh" jika mendekati kapal perang AS.
Sebelumnya, dua jet tempur F-16 Venezuela terbang di atas kapal AS yang dikerahkan ke kawasan itu untuk memerangi geng kriminal dan "terorisme narkoba".
Trump menilai tindakan Venezuela itu "berbahaya" dan Departemen Pertahanan AS menyebut tindakan itu "sangat provokatif."
Maduro juga meminta Trump untuk "menghentikan rencananya melakukan perubahan rezim secara paksa di Venezuela, seluruh Amerika Latin, dan Karibia."
"Hormati kedaulatan, hak atas perdamaian, serta kemerdekaan negara kami," kata Maduro, seraya menekankan bahwa Venezuela selalu bersedia berdialog dengan AS.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Venezuela Yvan Gil mengatakan pengerahan pesawat AS, termasuk 10 jet tempur F-35 ke sebuah pangkalan udara di Puerto Riko, menjadi ancaman bagi pemerintahan Maduro.
Gil menuding Menlu AS Marco Rubio membenarkan pengerahan itu "dengan dalih mengejar penyelundup narkoba," yang disebut Gil sebagai "kebohongan terbesar."
Sumber: Anadolu
Baca selanjutnya
kegagalan misi rahasia AS di Korut, warga sipil tewas...
Disisi lain, sebuah laporan media mengungkapkan kegagalan misi rahasia AS di Korea Utara (Korut) selama masa jabatan pertama Presiden Donald Trump.
Misi rahasia itu melibatkan pasukan elite Angkatan Laut AS, Navy SEAL, untuk memasang alat penyadap komunikasi pemimpin Korut Kim Jong Un.
Namun, operasi itu gagal dan menewaskan sejumlah warga sipil Korut yang tidak bersenjata, The New York Times (NYT) melaporkan pada Jumat.
Mengutip beberapa sumber, NYT menyebutkan bahwa misi rahasia itu dilakukan oleh Skuadron Merah Tim SEAL 6, pasukan elite yang menewaskan Osama bin Laden di Pakistan pada 2011.
Detail operasi SEAL pada awal 2019 itu diperoleh NYT melalui percakapan dengan sejumlah pejabat pemerintah sipil AS, anggota kabinet Trump periode pertama, serta personel aktif dan pensiunan militer, yang meminta nama mereka dirahasiakan.
Menurut laporan harian itu, meski telah berlatih selama berbulan-bulan, pasukan elite itu menghadapi situasi tak terduga di lapangan.
Ketika berada di wilayah Korut, sebuah kapal tiba-tiba muncul. Tidak jelas apakah itu kapal militer atau kapal nelayan. Seluruh awak kapal ditembak mati, tetapi kemudian diketahui mereka tidak bersenjata dan tidak berseragam.
Korban, yang berjumlah dua atau tiga orang, kemungkinan adalah warga sipil yang sedang menyelam mencari kerang, sebut laporan NYT itu.
Pada Februari tahun itu, Trump mengumumkan akan bertemu Kim dalam pertemuan puncak nuklir di Vietnam. Dia ingin mengetahui maksud sebenarnya dari pemimpin Korut yang saat itu dianggapnya sulit ditebak.
Perangkat yang hendak dipasang oleh SEAL seharusnya membantu mengumpulkan intelijen penting, tetapi misi tersebut terpaksa dibatalkan setelah insiden penembakan itu.
NYT juga melaporkan bahwa Korut tidak pernah mengeluarkan pernyataan publik tentang insiden itu, sementara pejabat AS pun tidak tahu apakah Korut memahami apa yang terjadi dan siapa pelakunya.
Namun sejak itu, Korut terus melanjutkan uji coba rudal dan menambah puluhan hulu ledak nuklir, menurut laporan itu.
Sumber: Sputnik/RIA Novosti-OANA
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Trump ancam tembak jatuh jet Venezuela, Maduro sebut akan melawan