Tanjungpinang (Antara Kepri) -Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia menyatakan bisnis keset kaki yang terbuat dari sabut kelapa menggiurkan, namun belum berkembangan di negeri ini.
"Keset kaki bahan bakunya hanya 8 butir sabut kelapa, diolah dan diambil seratnya. Kemudian diekspor ke China dengan harga 400 dolar Amerika/ton atau sekitar Rp4.200/kg," kata Ketua Bidang Litbang Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia Ady Indra Pawennari, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Senin.
Dia menambahkan, serat sabut kelapa itu kemudian diolah menjadi keset kaki. Keset kaki itu diekspor dari China ke Eropa dengan harga Rp128.000/unit.
"Satu keset kaki bahan bakunya hanya 1 kg serat sabut kelapa yang dihargai di China saat ini Rp4.200/kg. Harganya sangat berselisih jauh dibanding keset kaki yang dijual pengusaha keset kaki China ke Eropa," ujarnya.
Menjual sabut dalam bentuk "raw material" atau bahan mentah ke China tidak memberi keuntungan yang besar. Hal itu disebabkan teknologi yang digunakan di Indonesia dalam mengelolah sabut kepala belum canggih.
Padahal jika ada investor nasional yang berminat, bisnis ini menguntungkan. Untuk industri hulunya dibutuhkan modal sekitar Rp1 miliar dan industri hilirnya sekitar Rp2 miliar.
IKEA, yang merupakan perusahaan furniture dunia sudah minta 1 juta unit/tahun. Tetapi, Indonesia belum mampu merealisasikannya.
Salah satu daerah yang sudah mengembangkan pengelolaan sabut kelapa adalah Yogyakarta.
Namun pengelolaannya masih dilakukan secara manual sehingga tidak membuahkan hasil yang maksimal.
"Teknologi pengelolaan sabut kelapa yang canggih banyak digunakan pengusah India. Kami sudah minta pemerintah memfasilitasi pengrajin belajar ke India, tapi direspons," ungkapnya.
Ady mengemukakan, usaha keset kaki dari sabut kelapa dapat dikembangkan di daerah, termasuk Kepulauan Riau (Kepri). Apalagi Kepri memiliki banyak perkebunan kelapa seperti Tanjung Batu, Guntung dan Dabo Singkep.
Posisi Kepri juga strategis sehingga keset kaki itu mudah diekspor ke negara tetangga, seperti Singapura.
"Apakah badan usaha milik daerah berminat? Saya rasa tidak ada yang mau kerja seperti ini," katanya. (Antara)
Editor: Rusdianto
"Keset kaki bahan bakunya hanya 8 butir sabut kelapa, diolah dan diambil seratnya. Kemudian diekspor ke China dengan harga 400 dolar Amerika/ton atau sekitar Rp4.200/kg," kata Ketua Bidang Litbang Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia Ady Indra Pawennari, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Senin.
Dia menambahkan, serat sabut kelapa itu kemudian diolah menjadi keset kaki. Keset kaki itu diekspor dari China ke Eropa dengan harga Rp128.000/unit.
"Satu keset kaki bahan bakunya hanya 1 kg serat sabut kelapa yang dihargai di China saat ini Rp4.200/kg. Harganya sangat berselisih jauh dibanding keset kaki yang dijual pengusaha keset kaki China ke Eropa," ujarnya.
Menjual sabut dalam bentuk "raw material" atau bahan mentah ke China tidak memberi keuntungan yang besar. Hal itu disebabkan teknologi yang digunakan di Indonesia dalam mengelolah sabut kepala belum canggih.
Padahal jika ada investor nasional yang berminat, bisnis ini menguntungkan. Untuk industri hulunya dibutuhkan modal sekitar Rp1 miliar dan industri hilirnya sekitar Rp2 miliar.
IKEA, yang merupakan perusahaan furniture dunia sudah minta 1 juta unit/tahun. Tetapi, Indonesia belum mampu merealisasikannya.
Salah satu daerah yang sudah mengembangkan pengelolaan sabut kelapa adalah Yogyakarta.
Namun pengelolaannya masih dilakukan secara manual sehingga tidak membuahkan hasil yang maksimal.
"Teknologi pengelolaan sabut kelapa yang canggih banyak digunakan pengusah India. Kami sudah minta pemerintah memfasilitasi pengrajin belajar ke India, tapi direspons," ungkapnya.
Ady mengemukakan, usaha keset kaki dari sabut kelapa dapat dikembangkan di daerah, termasuk Kepulauan Riau (Kepri). Apalagi Kepri memiliki banyak perkebunan kelapa seperti Tanjung Batu, Guntung dan Dabo Singkep.
Posisi Kepri juga strategis sehingga keset kaki itu mudah diekspor ke negara tetangga, seperti Singapura.
"Apakah badan usaha milik daerah berminat? Saya rasa tidak ada yang mau kerja seperti ini," katanya. (Antara)
Editor: Rusdianto