Nelayan Bintan sulit dapat solar bersubsidi

id Nelayan Bintan,kesulitan dapat, solar bersubsidi

Nelayan Bintan sulit dapat solar bersubsidi

Aktivitas nelayan di Kawal, Kabupaten Bintan. Foto ANTARA/Nikolas Panama)

Bintan (ANTARA) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau menyatakan banyak nelayan di daerah tersebut kesulitan mendapatkan solar bersubsidi.

Ketua (KNTI Bintan Syukur Hariyanto alias Buyung Adly  di Bintan mengatakan, nelayan tradisional yang tinggal di berbagai pulau harus membeli solar bersubsidi di Agen Premium dan Minyak Solar (APMS),  stasiun pengisian solar atau Solar Pack Dealer Nelayan (SPDN) dan pertamina yang jauh.

Di Bintan terdapat enam tempat penjualan solar bersubsidi yakni dua unit penyaluran SPDN di Kijang, satu Pertamina di Kawal,  lalu ada SPDN Desa Malang Rapat, SPDN  Tembeling, dan  SPDN  Tanjungberakit.

Ia mencontohkan, nelayan yang tinggal di sejumlah pulau di Kecamatan Bintan Pesisir harus membeli solar bersubsidi di SPDN Kijang. Jarak antara tempat tinggal nelayan itu dengan Kijang cukup jauh. Nelayan membutuhkan waktu sekitar 40 menit berlayar, kemudian menggunakan alat transportasi darat menuju SPDN tersebut.

Selain memakan waktu cukup lama, kata dia biaya yang dikeluarkan nelayan juga tidak sedikit untuk mendapatkan solar bersubsidi.

"Banyak nelayan yang tiba di SPDN, tetapi tidak mendapatkan solar karena habis. Kasihan mereka, sudah melakukan perjalanan jauh, tapi hasilnya hampa," ujarnya.

Buyung mengemukakan jumlah nelayan di Bintanclebih dsri 13 ribu orang berdasarkan data tahun 2017-2019. 

 Permasalahan lainnya juga dihadapi nelayan seperti tidak memiliki kartu kendali BBM solar bersubsidi. Untuk mengurus kartu kendali solar bersubsidi ini membutuhkan birokrasi yang panjang sehingga banyak nelayan yang tidak mau dan tidak mampu mengurusnya.

Tahap awal, nelayan harus mendapatkan surat dari Dinas Perhubungan terkait kelaikkan kapal yang digunakan nelayan, kemudian baru mengajukan kartu kendali di Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten dan kota. Selanjutnya, baru dikeluarkan keputusan nelayan tersebut mendapatkan berapa liter solar bersubsidi.

Kuota solar bersubsidi itu tidak dapat diambil secara langsung, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk nelayan yang menggunakan kapal dengan kapasitas 1 GT hanya memperoleh 200 liter solar bersubsidi dalam setiap bulan.

"Kalau 3 GT berarti mendapatkan 600 liter minyak. Tetapi ini tidak dapat diambil langsung, melainkan harus sesuai kebutuhan. Ini yang menyebabkan nelayan harus bolak-balik," ujarnya.

Keluhan nelayan itu pun sudah disampaikan Buyung langsung kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Bintan dan Tanjungpinang. Ia menyarankan kepada presiden agar koperasi nelayan diberdayakan untuk menyalurkan solar bersubsidi di sejumlah lokasi strategis sehingga membantu nelayan mendapatkannya.

"Mungkin ada tambahan biaya transportasi dan pengangkutan sekitar Rp200/liter untuk menutupi biaya transportasi dan pengangkutan. Uang koperasi yang terkumpul ini juga dapat dipergunakan untuk kesejahteraan nelayan," katanya.

Terkait solar bersubsidi yang kerap habis saat akan dibeli nelayan, Buyung merasa heran. Seharusnya, solar tidak akan habis jika penjualannya sesuai kuota.

Harga solar subsidi Rp5.150/liter, sedangkan solar industri Rp7.300/liter. Disparitas harga yang cukup tinggi ini, berpotensi menimbulkan permasalahan.

Kapal nelayan yang berhak mendapatkan solar bersubsidi maksimal dengan kapasitas 29 GT.

"Kami menduga solar ini dijual kepada pihak yang tidak berhak mendapatkannya," ucapnya.
 

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE