Jalan Terjal Gubernur Kepri (tulisan II dari III)

id Jalan,Terjal,Gubernur,kepri,nurdin,basirun,karimun,mutasi

Saya ingin cepat, tetapi saya tidak memiliki kewenangan, karena masih ada partai lain yang juga pengusung Sanur
PEKERJAAN rumah bagi Nurdin Basirun setelah dilantik sebagai Gubernur Kepri pada 25 Mei 2016 adalah menetapkan dua figur menjadi calon wakil gubernur.

Nurdin bukan orang yang memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan dua nama kandidat tersebut, meski ia menjabat sebagai Ketua Partai Nasional Demokrat Kepri. Sebab, masih ada empat partai pengusung HM Sani (almarhum)-Nurdin Basirun (Sanur) yang berhak menetapkan dua nama kandidat.

Kepada sejumlah jurnalis di Tanjungpinang, ibu kota Kepri, dalam berbagai kesempatan Nurdin mengaku juga menginginkan pemilihan Wagub Kepri segera dilaksanakan.

"Saya ingin cepat, tetapi saya tidak memiliki kewenangan, karena masih ada partai lain yang juga pengusung Sanur," katanya.

Pernyataan Nurdin itu bertolak belakang dengan pengurus Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Gerindra. Mereka justru menunggu sinyal dari Nurdin untuk menentukan siapa figur yang diinginkan.

"Kami tidak pernah mendapat pesan, figur yang memiliki kriteria seperti apa yang diinginkan gubernur. Padahal itu penting," kata Sekretaris Partai Demokrat Kepri Husnizar Hood.

Hingga pertengahan Desember 2016, sejumlah politikus dari partai pengusung Sanur merasa Nurdin membiarkan permasalahan pemilihan wagub. Mereka mulai mengkritik Nurdin, karena merasa belum pernah diajak rapat untuk membahas permasalahan itu.

"Kami dibuat seolah-olah yang memiliki kepentingan dalam pemilihan wagub ini. Padahal, gubernur yang lebih banyak kepentingan, karena figur itu akan mendampinginya," kata Ketua Partai Persatuan Pembangunan Kepri Syarafudin Aluan.

Satu per satu partai pengusung akhirnya mengambil inisiatif untuk membuka pendaftaran calon wakil gubernur. Cukup banyak figur dari kalangan politikus, pemerintahan dan pengusaha yang mendaftar, tetapi hasil akhir tetap diputuskan pengurus pusat partai pengusung Sanur.

Hingga Desember 2016, masing-masing partai pengusung sudah mengusulkan 2-3 nama calon. Perbedaan nama yang diusulkan menambah rumit Nurdin untuk mengendalikan partai partai pengusung menetapkan dua nama.

Dari nama-nama yang diusulkan akhirnya mengerucut menjadi lima orang yakni Isdianto, Agus Wibowo, Mustafa Widjaja, Rini Fitrianti dan Fauzi Bahar. Isdianto, adik kandung dari M Sani (mantan Gubernur Kepri). Isdianto yang kini menjabat sebagai pejabat eselon II di Pemprov Kepri beruntung, karena diusulkan lima partai pengusung.

Nama Isdianto juga sudah mencuat di publik setelah disampaikan Gubernur Nurdin kepada awak media massa. Namun, satu nama lagi belum disampaikan Nurdin, tanpa alasan.

Padahal partai pengusung pada akhir Desmeber 2016 sudah memutuskan dua nama figur yang akan diusulkan ke DPRD Kepri. Para politikus dari partai pengusung Sanur pun bungkam.

"Sudah diusulkan dua nama, salah satunya Isdianto. Satu nama lagi, Pak Gubernur yang berhak membeberkannya kepada publik," kata Husnizar yang juga Wakil Ketua DPRD Kepri.

Husnizar mengemukakan nama figur yang diusulkan partai pengusung dapat diganti jika diinginkan gubernur. Namun, Gubernur Nurdin harus duduk bersama partai pengusung untuk membahasnya.

"Jika disetujui partai pengusung, itu (pergantian nama calon wagub) dapat terjadi," katanya.

Isu Karimunisasi

Belum selesai permasalahan pemilihan Wagub Kepri, gubernur dihadapi dua situasi yang lebih rumit yakni mutasi pejabat eselon II-IV dan penggunaan hak interpelasi.

Pelantikan mendadak kepada pejabat eselon II-III pada 7 November 2016 menyisakan permasalahan sampai saat ini. Bahkan peristiwa pelantikan tanpa diawali undangan kepada pejabat yang dilantik juga menjadi sejarah buruk dalam pemerintahan setelah ada salah seorang staf di Dinas Pendidikan Kepri melontarkan protes sebelum pelaksanaan mutasi.

"Mutasi itu hal yang biasa, tidak perlu diperbesar, dibuat mewah. Yang penting dilaksanakan sesuai prosedur, dan niat yang baik," kata Nurdin, berdalih.

Setelah mutasi pejabat eselon II-IV, selama beberapa hari Nurdin "dihajar" dengan isu "karimunisasi", "provinsi karimun", karena banyak pejabat asal Karimun yang menjadi pejabat di Pemprov Kepri.

Banyak pejabat asal Karimun yang "diboyong" ke Pemprov Kepri. Sejumlah anggota DPRD Kepri menilai proses mutasi tidak lazim, karena ada beberapa pejabat yang dilantik tidak sesuai ketentuan yang berlaku.  

Aksi protes staf Dinas Pendidikan Kepri, Sumantri beberapa menit sebelum prosesi pelantikan pejabat baru sebagai pintu masuk DPRD Kepri untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam hingga akhirnya 22 anggota legislatif mengajukan hak interpelasi.

Juru bicara hak interpelasi DPRD Kepri Taba Iskandar mengatakan hak interpelasi melekat pada setiap anggota legislatif yang dapat dipergunakan untuk meminta keterangan kepada gubernur atas kebijakan yang dinilai mempengaruhi kepentingan masyarakat.

"Mutasi pejabat eselon II-IV tidak dilaksanakan sesuai prosedur," katanya.

Inisiator interpelasi menilai setidaknya Gubernur Nurdin tidak mengikuti sembilan aturan perundangan yang ada di antaranya UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai.

Dari ketentuan itu, kata dia seharusnya mutasi pejabat dilakukan secara profesional, memenuhi asas keadilan dan kesetaraan, serta kesejahteraan.

Promosi ASN harus dilakukan secara objektif berdasarkan penilaian yang profesional melalui pengukuran kinerja, dan prestasi ASN minimal dinilai dua tahun bekerja sebelumnya.

"Jadi mutasi tidak berhubungan dengan asal daerah, tidak boleh hanya satu kabupaten saja," singgungnya.

Berdasarkan surat edaran Mendagri, seharusnya mutasi dilakukan untuk mengisi pejabat pada satuan organisasi tata kerja yang baru, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Kenapa gubernur tidak sabar menunggu satu bulan lagi untuk melakukan mutasi dengan menggunakan SOTK yang baru?" katanya.

Berdasarkan hasil investigasi inisiator hak interpelasi, diperoleh banyak data mutasi pejabat eselon II-IV yang melanggar ketentuan yang berlaku.

Salah satu contoh, Sekretaris Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kepri Hasbi merangkap sebagai Plt Asisten III Pemprov Kepri.  

"Bayangkan eselon III menjadi pejabat asisten, begitu tinggi lompatannya. Bagaimana dia dapat memerintah pejabat eselon II?" ujarnya.

Fakta lainnya, salah seorang pejabat atas nama Burhanudin, Sekretaris Disperindag menjabat sebagai Plt Kepala Disperindag. Kondisi yang sama juga terjadi di Dinas Pertambangan dan Energi Kepri.

Ada pula empat pejabat yang tidak mendapatkan jabatan tanpa alasan yang jelas. Pejabat itu tidak mengetahui kesalahannya.

"Yang ikut 'assesment' tidak mendapatkan jabatan.  Ada tujuh pejabat yang ditetapkan, tetapi tidak ikut pelantikan dan tidak disumpah," katanya.

Ia mengemukakan penggunaan interpelasi ini momentum untuk memperjuangkan untuk kepentingan masyarakat. Seharusnya, anggota DPRD Kepri yang mendukung penggunaan hak interpelasi bukan hanya dari partai yang tidak mengusung Sani-Nurdin pada pilkada, melainkan 43 anggota legislatif.

"Interpelasi ini momentum. Ini untuk memperjuangkan, kebenaran, bukan untuk kepentingan politik," ujar Taba.

Gubernur Kepri Nurdin Basirun mengatakan mutasi dilaksanakan secara profesional, dan sesuai ketentuan yang berlaku. Jika terjadi kesalahan ia bersedia untuk memperbaikinya.

"Niat saya untuk memperbaiki pemerintahan," katanya.

Alat Penawaran

Sejumlah pihak mempertanyakan kelanjutan hak interpelasi kepada Gubernur Kepri Nurdin Basirun yang lebih dari sebulan tidak terdengar lagi.

Mereka khawatir hak interpelasi hanya dijadikan alat penawaran.

Inisiator hak interpelasi Sahat Sianturi menegaskan hak interpelasi tidak dijadikan sebagai alat penawaran kepada pihak eksekutif, melainkan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.

"Coba cari melalui apa saja, apa ada SMS saya ke gubernur atau pejabat lainnya, yang bernada memanfaatkan hak interpelasi untuk 'bargaining'. Saya Sahat Sianturi, tidak melakukan itu," ucapnya, yang juga anggota Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD Kepri.

Sahat terdengar kesal ketika mendengar ada kecurigaan sejumlah pihak bahwa hak interpelasi yang diajukan sebanyak 22 anggota DPRD Kepri diduga dipergunakan untuk kepentingan kelompok atau pribadi sebagai alat penawaran.

"Kalau 21 orang lainnya, saya tidak tahu, tetapi saya jamin diri saya tidak menjadikan hak interpelasi sebagai alat untuk kepentingan tertentu," ujarnya.

Hak interpelasi diajukan sebagian anggota DPRD Kepri terkait pelanggaran dalam proses mutasi. Secara umum, anggota DPRD Kepri mempertanyakan apakah Gubernur Nurdin Basirun memiliki kewenangan untuk melakukan mutasi pejabat eselon II pada 7 November 2016, mengingat ia baru dilantik pada 25 Mei 2016 sehingga belum cukup enam bulan menjabat.

Setelah dikonsultasikan permasalahan itu ke Kemendagri, kata Sahat, ternyata Nurdin berhak melakukan mutasi pejabat karena dihitung sejak dilantik bersama Sani (almarhum) pada 12 Februari 2016.

Permasalahan lainnya terkait pelanggaran dalam mutasi, seperti seorang pejabat eselon II juga menjabat sebagai pejabat eselon III. Permasalahan ini sudah dikonsultasikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Gubernur Nurdin mengakui kesalahan tersebut.

Mutasi selanjutnya dilakukan 3 Januari 2017 sekaligus memperbaiki kesalahan yang terjadi sebelumnya.

"Pertanyaannya, setelah kesalahan itu diperbaiki, apakah kami tetap ajukan hak interpelasi, hak bertanya? 'Kan sudah diperbaiki," katanya.

Ketika ditanya apakah permasalahan hak interpelasi itu tidak diakhiri dengan rapat paripurna bila sudah dianggap sudah tidak ada lagi permasalahan, Sahat menegaskan pada 27 Januari 2017 akan dilakukan rapat pimpinan untuk membahas permasalahan itu.

"Sebelum rapat paripurna mendengar jawaban fraksi terkait hasil pembahasan hak interpelasi, DPRD Kepri akan menggelar rapat pimpinan," ucapnya.

Kecurigaan sejumlah pihak bahwa hak interpelasi itu dijadikan alat penawaran tertentu, seperti meloloskan pejabat tertentu dalam kabinet Nurdin diawali oleh tersumbatnya informasi bahwa 27 Januari 2017 akan digelar rapat pimpinan membahas hak interpelasi.

Sahat menegaskan seharusnya yang menyampaikan informasi tersebut pimpinan DPRD Kepri, bukan dirinya.

"Apa perlu saya umumkan di belakang baju saya? Saya juga bukan anggota Badan Musyawarah yang mengatur jadwal," katanya.

Sebelumnya, pengamat politik, Endri Sanopaka, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik Raja Haji Tanjungpinang mengatakan hak interpelasi potensial dimanfaatkan untuk "bargaining", apalagi diajukan terkait permasalahan mutasi.

Kecurigaan berbagai pihak bahwa hak interpelasi dipergunakan untuk kepentingan tertentu dinilai wajar, apalagi suhu politik terkait permasalahan itu perlahan-lahan mulai mendingin.

Bahkan isu hak interpelasi yang beberapa pekan lalu memanas, sekarang seperti menghilang, padahal belum selesai.

Anggota DPRD Kepri sebagai representasi dari masyarakat harus transparan dalam menangani permasalahan itu. Jangan biarkan masyarakat larut dalam kecurigaan karena itu justru merugikan nama baik inisiator hak interpelasi yang kritis.

"Informasi terkait permasalahan itu harus dibuka kepada publik agar tidak ada kecurigaan," ucapnya.

Endri sendiri berharap permasalahan hak interpelasi itu berlanjut, meski Gubernur Nurdin sudah memperbaiki kesalahannya. Kelanjutan dari hak interpelasi itu sebagai pelajaran untuk pemerintah agar menaati ketentuan yang berlaku.

"Hak politik yang dimiliki anggota legislatif itu dapat berdampak lebih luas, tidak hanya sekadar bertanya, dan melupakan permasalahan itu setelah diperbaiki pihak eksekutif. Saya khawatir kalau tidak dilanjutkan, permasalahan yang sama muncul kembali," ujarnya. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE