Tanjungpinang (ANTARA) - Bangunan kantor pemerintahan di Kabupaten Bintan maupun di Kota Tanjungpinang diduga menggunakan pasir ilegal, kata Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Ing Iskandarsyah.
"Mungkin pasir bangunan Kantor DPRD dan Pemprov Kepri di Pulau Dompak berasal dari pasir ilegal. Karena satu-satunya sumber pasir terbesar di Galang Batang, Bintan," ujarnya di Tanjungpinang, Rabu.
Iskandarsyah mengatakan tanpa pasir di Galang Batang maupun di Teluk Bakau, pemerintah maupun masyarakat tidak dapat membangun kantor maupun rumah. Pasir itu juga digunakan untuk kegiatan semenisasi dan drainase.
"Jadi proyek pemerintah juga membutuhkan pasir itu. Lantas, apakah bangunannya harus dihancurkan lantaran pasir dari hasil pertambangan ilegal? Tentu tidak," ucapnya.
Ia juga merasa heran dengan sikap pemerintah daerah yang terkesan membiarkan permasalahan itu berlarut-larut. Pembiaran permasalahan ini menyebabkan negara dan masyarakat dirugikan. Hal itu disebabkan permintaan pasir terus meningkat, sementara operasional pasir ilegal membutuhkan biaya yang besar, yang menyebabkan harga pasir tinggi.
"Biaya koordinasi yang tinggi menyebabkan harga pasir tinggi. Yang rugi siapa? Masyarakat," tegasnya.
Seharusnya, kata dia pemerintah melakukan penertiban, dan menetapkan kawasan pertambangan pasir darat. Penetapan pasir darat perlu dilakukan agar kebutuhan pasir dapat dipenuhi, apalagi saat ini Pemprov Kepri, Pemerintah Bintan dan Pemerintah Kota Tanjungpinang gencar melakukan pembangunan.
Pihak swasta juga membutuhkan pasir untuk kebutuhan pembangunan. Jika harga pasir meningkat, maka mempengaruhi harga bangunan, seperti rumah yang dibangun developer.
"Negara harus hadir menyelesaikan permasalahan ini. Jangan sampai pula ada kartel pasir, yang mengendalikan harga," ujarnya, yang juga Wakil Ketua Fraksi Keadilan Sejahtera.
Iskandar mengatakan Pemerintah Kepri dan Bintan harus bersinergi mengatasi permasalahan itu. Penyelesaian permasalahan pertambangan pasir ilegal yang merusak lingkungan tidak hanya surat peringatan dan penertiban, melainkan memberi solusi agar pasir tidak langka.
Solusi yang terbaik adalah pemerintah menetapkan kawasan pertambangan pasir di kawasan yang memiliki sumber daya pasir. Pemerintah cukup mengubah tata ruang, dan membuat regulasi yang tegas, yang mampu mengatur pertambangan pasir dari hilir ke hulu.
Penetapan dan pengaturan pertambangan pasir perlu dilakukan agar menguntungkan masyarakat, pemerintah dan pengusaha. Beban operasional para pengusaha pasir juga tidak berat jika kegiatan yang dilaksanakan legal.
"Beban operasional yang besar ujung-ujungnya merugikan masyarakat dan pemerintah karena membebani harga pasir," tuturnya.
Camat Gunung Kijang, Arif Sumarsono, mengatakan, pihaknya sudah dua kali melayangkan surat ke para penambang pasir. Namun aktivitas pertambangan tetap berjalan.
Arif mengatakan aktivitas pertambangan pasir sudah lama berlangsung, bahkan sebelum dirinya menjadi Lurah Kawal tahun 2016.
"Tidak ada ijin. Ijin merupakan wewenang Dinas ESDM Kepri," tegasnya.
Berdasarkan hasil penelusuran Kecamatan Gunung Kijang, jumlah lokasi pertambangan pasir di Galang Batang mencapai 26 titik. Aktivitas pertambangan pasir terbesar di Teluk Bakau, Bintan.
"Galang Batang maupun Teluk Bakau bukan kawasan pertambangan," ujarnya.
Berita Terkait
Bandara Internasional Minangkabau Kamis ditutup sementara akibat erupsi Marapi
Kamis, 28 Maret 2024 11:20 Wib
KPK panggil lima KJPP terkait dugaan korupsi pengadaan lahan Tol Trans Sumatera
Rabu, 27 Maret 2024 18:34 Wib
Korban banjir meninggal di Jawa Barat bertambah
Rabu, 27 Maret 2024 7:31 Wib
Lanal Bintan tangkap puluhan PMI nonprosedural
Rabu, 27 Maret 2024 7:05 Wib
Ganjar pilih berada di luar pemerintahan
Selasa, 26 Maret 2024 14:30 Wib
13 oknum prajurit diduga terlibat kekerasan di Papua
Senin, 25 Maret 2024 18:02 Wib
Diduga rekam perempuan di toilet pakai ponsel, oknum PNS ditangkap polisi
Minggu, 24 Maret 2024 19:02 Wib
Nelayan temukan tiga mayat di laut Aceh Jaya yang diduga warga Rohingya
Sabtu, 23 Maret 2024 16:01 Wib
Komentar