Jakarta (ANTARA) - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan seharusnya sejalan dengan agenda reforma agraria yang salah satunya bertujuan untuk melakukan pemerataan dalam rangka mengentaskan kemiskinan, sehingga proses pengesahannya dinilai jangan tergesa-gesa.

"Tidak harmonisnya hal-hal yang dibahas dalam RUU tersebut dengan agenda reforma agraria ditakutkan dapat menghambat progress yang selama ini sudah berjalan. Untuk itu, pengesahan RUU Pertanahan tidak perlu terburu-buru karena masih membutuhkan kajian yang lebih dalam," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru dalam rilis di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, RUU pertanahan perlu memperhatikan kemajuan dari pembahasan agenda reforma agraria agar tidak tumpang tindih lagi.

Ia memaparkan, sejumlah hal yang layak diperhatikan yaitu mulai dari penyelarasan data administrasi yang sedang berjalan seperti status kepemilikan lahan, redistribusi lahan (TORA), jangka waktu hak guna usaha, dan batas kawasan konservasi semua harus jelas.

"Lebih baik mematangkan segala isu teknis dan non-teknis yang ada dengan persetujuan semua pihak berwenang baru RUU bisa disahkan. Persiapan yang lebih matang dapat meminimalisir dana yang terbuang hanya karena terburu-buru membuat UU karena masa kerja DPR yang sebentar lagi habis di tahun ini," ungkapnya.

Muhammad Diheim Biru mengingatkan bahwa kebutuhan lahan akan terus meningkat di kemudian hari.

Apabila konsolidasi peraturan lahan masih tidak terbenahi, lanjutnya, maka negara ke depannya dinilai akan sukar mencapai target pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) dan memenuhi komitmennya dalam perjanjian internasional.

Sebelumnya, Wakil Organisasi Masyarakat Sipil Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika meminta pemerintah dan DPR RI untuk menunda pengesahan rancangan undang-undang (RUU) Pertanahan yang direncanakan untuk disahkan pada Rapat Paripurna Akhir DPR RI di bulan September mendatang.

"Kita meminta untuk RUU Pertanahan ditunda pengesahannya," kata Dewi saat konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/8).

Ia menilai bahwa RUU Pertanahan tersebut tidak menjawab dan menyelesaikan lima pokok masalah agraria di Tanah Air; di antaranya ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis, alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian, hingga kemiskinan.

"RUU Pertanahan seharusnya menjawab lima masalah pokok agraria. Dan kami menilai bahwa masalah-masalah tersebut tidak bisa dijawab oleh RUU Pertanahan saat ini," tutur Dewi.

Baca juga: Firman ingatkan Panja RUU Pertanahan tidak abaikan hasil Rakor
Baca juga: Anggota DPR imbau pemerintah satu suara bahas RUU Pertanahan
Baca juga: KPA minta pengesahan RUU Pertanahan ditunda

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019