Jakarta (ANTARA) - Bentangan garis khatulistiwa serta rimbunnya ladang merupakan anugerah bagi Nusantara untuk menumbuhkan berbagai tanaman di berbagai penjuru Indonesia. Di sisi lain, ancaman asap pekat yang mencekik tarikan nafas selalu mengancam warga dari tebalnya kebakaran hutan yang rajin menjadi siklus tahunan.

Seakan menjadi ancaman tahunan, bara panas selalu berputar titiknya dari ladang baru ke ladang lainnya, khususnya lahan gambut yang menjadi ancaman serius. Bebagai mitigasi diberikan kepada masyarakat guna menghindari pembakaran ladang liar yang berpotensi menyebar api di rimba hijau.

Salah satu titik rawan tersebut berada di barat Indonesia, Provinsi Riau, di mana banyak lahan gambut di wilayah tersebut. Kampung Gambut Berdikari Pertamina di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau tak hanya berhasil mengubah lahan gambut menjadi kebun nanas, bahkan telah berhasil mengolah kulit nanas menjadi kerajinan tas yang memiliki nilai ekonomi.

Upaya ini merupakan sosialisasi penambahan nilai baru secara ekonomi, daripada membuka lahan baru dengan cara membakar menjadi pilihan. General Manager Refinery Unit II M Dharmariza mengatakan, Kampung Gambut Berdikari merupakan program unggulan Pertamina yang bertujuan mengurangi kebakaran lahan gambut sekaligus meningkatkan ekonomi petani.

Dalam 4 tahun terakhir, Pertamina mengucurkan dana sekitar Rp880 juta, dan berhasil meredam kebakaran lahan di area seluas 200 hektar serta meningkatkan cadangan air melalui sekat kanal dan embung air.

“Pertamina menggandeng para petani nanas untuk mengolah lahan gambut agar produktif dan terus mendorong para petani menaikkan nilai tambah dengan mengolah nanas hingga kulitnya menjadi makanan olahan dan kerajinan tas,” ujar Dharmariza.

Program ini juga berhasil melahirkan lapangan kerja baru baik sebagai petani nanas, perajin olahan nanas, perajin limbah nanas serta pengelola arboretum gambut dengan tambahan penghasilan sekitar Rp 2 juta per bulan.

Sebut saja Rosdiana, salah satu petani olahan nanas menyatakan, ia bersama warga lainnya sangat terbantu dari sisi ekonomi pasca mengembangkan usaha budidaya dan makanan olahan nanas. “Kami ucapkan terima kasih dengan adanya Pertamina. Mungkin kalau tak ada bantuan Pertamina, kami tak akan seperti ini,” ujarnya.

Ariati, seorang perajin kerajinan tas dari kulit nanas yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Makmur mendukung gagasan tersebut. Menurutnya, usaha kerajinan tas dari kulit nanas tersebut sudah dimulai sejak awal tahun 2019, di mana gagasan itu muncul lantaran keprihatinan masyarakat sekitar karena banyaknya kulit nanas yang terbuang pasca panen.

“Awalnya kami melihat daun nanas banyak yang dibuang. Makanya kita pikir mau diapakan daun nanas supaya tidak jadi limbah. Kita bikin tas Alhamdulillah jadi tasnya,” ujarnya. Ditambahkan Ariati, tas dari kulit nanas ini memiliki banyak keunggulan. Antara lain memiliki kualitas yang baik serta dijual dengan harga yang terjangkau.

“Harga (tas) yang kecil Rp5.000. Kalau yang besar Rp40.000. Saat ini pemesanan sudah banyak,” imbuhnya.

Masih menurut Ariati, pasca di produksi, tas berbahan dasar kulit nanas ini pun mendapatkan respon positif dari masyarakat sekitar. Bahkan pemesanan akan produk ini pun kian bertambah dari hari ke hari.


Baca juga: Pakar: Kembalikan fungsi gambut, langkah nyata cegah karhutla
Baca juga: Banyak warga anggap cara membakar suburkan lahan

Asal-muasal Nanas
Asap membumbung tinggi memenuhi ruang atmosfer yang ada di sekitar. Radiasi panas pun tersaji ketika si jago merah mulai melahap kayu, dan ranting bagai hewan buas yang menelan mangsa.

Masyarakat lalu-lalang berlarian setiap hari mencari barang terdekat untuk menjinakkan api tersebut, entah memukul atau melemparkan air ke bara api, seakan tidak dapat memadamkan amarah luapan oksidasi kimiawi yang terbentuk.

Bagaimana mudah padam, jika areal yang terbakar juga meliputi lahan gambut, sesuatu yang disukai api untuk ia hanguskan. Bahkan luasnya mencapai enam hektare sebagai medan atraksi gulungan bara.

Secara garis waktu sebenarnya, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2012, di Sei Pakning, Riau. Musnahnya lahan seluas enam hektare tersebut menjadi pelajaran berharga bagi warga sekitar. Tidak hanya kerugian materi, namun ragam aneka hayati dan hewani yang menjadi persinggahan juga turut menguap bersama jelaga hitam.

Catatan kelam itu oleh sebagian pihak diupayakan menjadi dongeng yang berakhir manis. Sejak tahun 2015 duka itu terlewati. Upaya bahu membahu pemerintah, masyarakat dan Pertamina Refinery Unit (RU) II Production Sei Panking, musibah itu teratasi dengan menghadirkan program pemanfaatan lahan bekas terbakar.

Program tersebut berorientasi pada Mitigasi Karlahut (Kebakaran Lahan dan Hutan) Berbasis Masyarakat dan Pengembangan Kawasan Pertanian Nanas Terintegrasi.

Mulai tahun 2015, melalui program tersebut masyarakat didampingi Pemerintah dan Pertamina RU II Production Sei Pakning mendorong upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan di wilayah Bukit Batu melalui alih fungsi lahan.

Bekerja sama dengan LPPM Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Pertamina RU II Production Sei Pakning sebelumnya telah melakukan pendampingan bagi kelompok tani melalui pemberdayaan masyarakat, dengan mengalihfungsi lahan semak belukar yang merupakan bekas area kebakaran lahan, menjadi pertanian nanas gambut dan melakukan diversifikasi produk olahan nanas.

Sejak Program Pengembangan Kawasan Pertanian Nanas Terintegrasi dilakukan, tercatat peningkatan lahan pertanian nanas seluas 4,5 persen dengan potensi pendapatan kelompok mencapai Rp20 juta/bulan dari penjualan hasil pertanian dan produk olahan nanas pada tahun 2017.

Sebelumnya, dari lahan tiga hektare dengan tiga orang petani dan 10 orang petani penggarap, hasil panen mencapai 10.000 buah/hektare dengan kualitas Grade A-B (85 persen) dan C (15 persen), dengan total pendapatan kelompok dari pejualan mencapai Rp 17 Juta/panen.

Upaya budi daya tanaman produktif cukup menjanjikan dan diproyeksikan luasnya menjadi 15 hektare. Pihaknya berharap muncul Sentra Pertanian Nanas Gambut yang dapat menjadi ciri khas di wilayah Sungai Pakning.

Sementara itu, Samsul, Ketua Kelompok Tani Tunas Makmur yang menjadi mitra binaan Pertamina membenarkan fakta tersebut. Ia bahkan mengakui bahwa sejak program ini dimulai, masyarakat menjadi lebih termotivasi untuk mengalihfungsi lahan semak menjadi pertanian nanas karena ada nilai tambah yang didapatkan cukup besar.

Kelompok Tani Tunas Makmur yang dipimpinnya beranggotakan 27 orang. Kelompok laki-laki sehari-hari menjalankan kegiatan pertanian, sementara kelompok perempuan memproduksi nanas olahan. Produk unggulan kelompok tani mereka adalah keripik nanas gambut dan manisan nanas.

Di awal alih fungsi lahan tahun 2015, masyarakat termasuk Kelompok Tani Tunas Makmur melakukan kegiatan pengelolaan lahan dengan memanfaatkan lahan yang bersifat kritis menjadi bernilai produktif. Dimulai dengan pengelolaan lahan perkebunan cabai dan pisang di daerah Batang Duku seluas 2 hektare. Selanjutnya pengelolaan kebun nanas di Desa Kampung Jawa berkisar delapan hektare.

Samsul mengaku bersyukur bencana yang dulu menyimpan duka, kini menjadi harapan kesejahteraan untuk masa depan Kampung Sei Pakning.

Agar bencana yang sama tidak berulang kembali, Pertamina RU II Production Sei Pakning, juga mendorong keterlibatan masyarakat melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Isu kebakaran tersebut telah menjadi perhatian dunia sejak beberapa tahun belakangan. Indonesia yang pada dasarnya digadang menjadi produsen karbon dunia, justru dihadapkan pada permasalahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang muncul di beberapa wilayah, seperti Sumatera, termasuk di wilayah Sei Pakning, Riau.

Baca juga: Pakar: Lahan gambut tak mungkin kembali ke kondisi alami
Baca juga: Pertamina EP bantu tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019