Depok (ANTARA News) - Ketua Pengadilan Agama Kota Depok, Jawa Barat, Yasardin mengatakan angka perceraian pada tahun 2007 di Kota Depok terbilang tinggi mencapai 1.154 berkas, dengan pemicu utama masalah ekonomi. "Selain masalah ekonomi adanya pihak ketiga serta adanya perselisihan diantara suami istri juga menjadi pemicu perceraian," katanya di Depok, Jumat. Yasardin mengungkapkan angka perceraian di Kota Depok setiap tahun meningkat. Berdasarkan data Pengadilan Agama Kota Depok, pada tahun 2005 tercatat 875 kasus perceraian, meningkat menjadi 1.015 pada 2006 dan 1.154 kasus pada 2007. Hingga pertengahan 2008, pihaknya telah menerima 760 pengajuan cerai atau sekitar 100 gugatan cerai tiap bulan. Dari semua itu, yang berhasil rujuk kembali hanya 45 pasangan. "Kalau dirata-rata setiap hari ada tiga pasangan suami-istri yang menggugat cerai," jelasnya. Ia mengatakan, latar belakang pendidikan tidak menjamin keharmonisan keluarga, karena banyak pasutri yang bercerai justru berasal dari kalangan intelektual. Lebih lanjut Yasrdin mengatakan, 60 persen nota perceraian diajukan oleh perempuan karena perempuan sudah mengerti hukum sehingga lebih mengetahui hak dan kewajibannya. Jika dulu mereka cenderung diam saja, maka sekarang kaum hawa lebih berani berpendapat dan mengadukan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Sementara itu Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok Suhendra mengatakan tingginya perceraian juga didukung dengan adanya krisis mental sebagain besar masyarakat. Dengan data angka perceraian yang ada selama ini, maka tingkat perbandingan perceraian di Kota Depok setiap 10 pernikahan terjadi satu kasus perceraian. Untuk itu, Suhendra berharap Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawianan (BP4) Kota Depok akan melaksankan fungsinya, yang mencakup tiga hal, pertama menanamkan setiap pasangan untuk tetap selalu menjaga mutu perkawinan. Kedua, BP4 juga diharapkan mampu menekan banyaknya peristiwa perceraian. Ketiga, mampu membimbing para pasangan suami istri untuk membina keluarga yang sakinah.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008