Ambon (ANTARA) - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong, Prof. Rokhmin Dahuri membahas persoalan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) 2019, Kamis.

"Kalau dilihat dari segi potensial ekonomi maritim, Maluku layak menjadi LIN karena volume produksi ikan dan produk perikanan lainnya lebih besar daripada tingkat kebutuhan secara berkelanjutan," kata Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya di PIT ISOI ke-XVI di Ambon.

Ia mengatakan dari neraca produksi dan tingkat konsumsi ikan di Maluku bisa dilihat, jumlah penduduk pada 2018 sebesar 1.749.529 orang dengan tingkat konsumsi ikan 50 kilogram per orang per tahun yang jika dijumlahkan hanya mencapai 87.476,45 ton.

Baca juga: Edhy Prabowo: China siap tampung hasil budi daya ikan Indonesia

Hingga tahun 2030 diperkirakan penduduk Maluku akan berjumlah 2.500.000 orang dengan tingkat konsumsi ikan sebesar 70 kilogram per orang per tahun, atau 175.000 ton per tahun.

Sementara potensi produksi perikanan tangkap sebesar 1,64 juta ton per tahun dan potensi perikanan budidaya sebanyak 2 juta ton per tahun, jika ditotalkan mencapai 3,6 juta ton per tahun, lebih besar dari tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat.

Dengan tingkat kebutuhan konsumsi ikan yang hanya empat persen dari total potensi produksi yang ada, Maluku bisa menjadi lumbung ikan Indonesia.

"Sampai tahun 2030 jumlah konsumsi masyarakat hanya empat persen dari total produksi, itu artinya ada 90 persen lebih yang bisa bisa diekspor atau di-supply ke daerah Indonesia yang lain," ujarnya.

Rokhmin menjelaskan, total potensi lestari perikanan tangkap yang mencapai 1,64 juta ton/tahun, 60 persennya adalah ikan jenis pelagis kecil (980.100 ton), 18 persen ikan demersal (295.500 ton) atau 18 persen dari total potensi dan 16 persen ikan pelagis besar (261.490).

Sedangkan sisanya adalah karang (47.700 ton) dan udang paneid (44.000 ton) masing-masing sebanyak tiga persen, kemudian cumi-cumi sebanyak 10.570 ton dan lobster sebesar 800 ton.

Baca juga: China jajaki peningkatan kerja sama perikanan dengan Indonesia

Untuk produksi komoditas unggulan, pada 2018 tercatat jumlah ikan layang sebesar 31.755 ton atau enam persen, disusul tuna (26.580 ton) dan cakalang (24.613 ton) masing-masing lima persen, ikan kembung (9.947 ton) dan selar (9.679 ton) sebesar dua persen, kemudian ikan julung (5.183 ton), teri (4.590 ton) dan udang (3.388 ton) masing-masing satu persen.

Sementara untuk jenis komoditas unggulan lainnya mencapai 384.906 ton atau 77 persen.

"Kelebihan produksi dapat dipasarkan ke wilayah Indonesia lainnya dan diekspor dengan harga sesuai nilai keekonomian, seluruh pelaku usaha perikanan, baik itu nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pedagang bisa hidup sejahtera dengan pendapatan sebesar Rp 4,2 juta per orang per bulan," imbuh Rokhmin.

PIT ISOI merupakan pertemuan rutin yang digelar tiap setiap tahun untuk memaparkan dan membahas hasil penelitian dan kajian ilmiah di bidang kelautan dan perikanan, memberi solusi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, juga membahas pelaksanaan dan implikasi sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Dijadwalkan berlangsung pada 7-10 November 2019, PIT ISOI ke-XVI yang digelar di Ambon menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti sebagai narasumber, di antaranya Wahyu W. Pandoe (Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT), Zainal Arifin (Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI), Chang Ik Zhang (Prof. Emeritus Pukyong National Universitas Korea Selatan) dan Martin Gutowiski (PT. Kongsberg).

Baca juga: Menteri Kelautan akan tetap lakukan penenggelaman jaga kedaulatan

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019