"Dalam kasus Bank Century, di situ ada perintah untuk kepala cabang menggunakan fotokopi KTP orang, membuka rekening baru," kata Mudzakir.
Mataram (ANTARA) - Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), Profesor Mudzakir, menggambarkan kasus Bank Century dalam sidang suap Imigrasi Mataram yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Rabu.

Prof Mudzakir memberikan gambaran dari kasus aliran dana lembaga penjamin simpanan itu ketika dihadirkan sebagai saksi "Ade Chart" oleh Penasihat Hukum terdakwa Yusriansyah Fazrin, dalam persidangannya yang diketuai Anak Agung Putu Ngurah Rajendra.

"Dalam kasus Bank Century, di situ ada perintah untuk kepala cabang menggunakan fotokopi KTP orang, membuka rekening baru," kata Mudzakir.

Dengan konstruksi kasus tersebut, Mudzakir melihat kepala cabang memiliki kewenangan untuk menolak perintah yang datang dari pemilik Bank Century.
Baca juga: Kakanwil Kemenkumham NTB berikan kesaksian di sidang suap imigrasi

"Kepala cabangnya di situ punya kewenangan untuk menolak, dia tahu, dia punya hak tolak, tapi di situ dia mau (menjalankan perintah), berarti di situ dia sudah bersama-sama melakukan kejahatan," ujar dia.

Jika perintah itu ditolak oleh kepala cabang, lanjut Mudzakir, tentu tidak akan dibebankan tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukumnya.

Selanjutnya terkait dengan ilustrasi kasus yang telah dipaparkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, dengan konstruksi yang mirip dengan kasus suap Imigrasi Mataram, Mudzakir menyarankan agar melihat lebih dulu aturan yang menjadi dasar pelaksanaan tugasnya.

"Hak tolak itu harus kita lihat dulu dalam aturannya, ada atau tidak. Kalau dia punya hak tolak, berarti dia kalau di perintah sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan, bisa menolak," ujarnya.
Baca juga: Jaksa KPK hadirkan Liliana Hidayat sebagai saksi suap imigrasi

Namun sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak memiliki hak tolak, berarti dia harus melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh atasannya.

"Tapi dalam ilustrasi yang diberikan penuntut umum, itu kebetulan samar-samar, antara memilih deportasi atau masuk proses penyidikan," ucap dia.

Namun menurut Mudzakir, tidak ada yang salah dari pilihan tersebut, keduanya sudah sesuai dengan kewenangan yang melekat pada seorang penyidik imigrasi.

"Cuma pilihannya itu disertai dengan adanya uang, dan uang itu yang menerima atasannya," kata dia.

Karena itu, Mudzakir menarik kesimpulan dengan berlandaskan aturan Pasal 55 KUHP, yang kerap digunakan untuk menjerat para pelaku koruptor.
Baca juga: Jaksa KPK cecar pejabat imigrasi terkait uang dalam koper Kurniadie

"Kalau menurut saya, sesuai dengan hukum, pasal 55 yang digunakan jaksa itu mengandung salah satu diantaranya, yakni menyuruh melakukan, perbuatan menyuruh melakukan itu melibatkan dua orang atau lebih, yang satu menyuruh, yang satu melakukan, tapi orang yang melakukan tidak dapat di pidana, melainkan yang bertanggung jawab itu adalah orang yang menyuruh melakukan," katanya.

Dalam dakwaannya, Yusriansyah Fazrin didakwa dengan pasal serupa dengan mantan atasannya, Kurniadie yang juga ditetapkan sebagai terdakwa.

Untuk keduanya, KPK mendakwakan Pasal 12e dan atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.

Yusriansyah Fazrin yang ketika itu menjabat sebagai Kasi Inteldakim Mataram ditangkap bersama atasannya, Kurniadie, Kakanim Mataram. Keduanya ditangkap oleh KPK karena terlibat dalam kasus penyuapan PT WBI untuk penghentian kasus dua WNA penyalahguna izin tinggal di Wyndham Sundancer Lombok Resort.

Dalam dakwaannya, Yusriansyah Fazrin yang bertugas dibawah perintah Kurniadie, diduga sebagai eskekutor peminta jatah Rp1,2 miliar kepada pihak PT WBI agar penghentian kasus dua WNA asal Singapura dan Australia berakhir dengan deportasi.
Baca juga: Pejabat imigrasi sebut ada "uang kontribusi bulanan" untuk Kemenkumham
 

KPK tangkap Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019