... Ya, ya...
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengatakan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.

"Tadi disampaikan para kyai yang hadir, pengurus PB NU, menyayangkan MPR mereduksi diri menjadi lembaga negara," kata dia, saat silaturahmi kebangsaan MPR ke Kantor PB NU Jakarta, Rabu.

Pernyataan dia itu direspon dengan anggukan kepala Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradj yang berdiri di sebelahnya. "Ya, ya...," gumam ketua umum PB NU itu.

Baca juga: Bamsoet: Pemilihan presiden langsung tidak diamandemen

Soesatyo mengatakan, PB NU ingin ketatanegaraan menjadi lebih rapi karena selama ini tidak ada lembaga tertinggi sehingga terjadi kerancuan dalam ketatanegaraan Indonesia.

Presiden --dalam ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru berkuasa-- merupakan mandataris MPR yang posisinya adalah lembaga tertinggi negara. Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan menjalankan GBHN. Saat itu, masa jabatan presiden tidak dibatasi hingga berapa kali, kecuali dikatakan "dapat dipilih kembali". 

Reformasi pada Mei 1998 yang dipicu banyak hal, di antaranya kenaikan harga barang-barang keperluan masyarakat di tataran bawah, menghentikan hal itu sehingga presiden-wakil presiden, dan lain sebagainya dipilih langsung oleh rakyat. 

Baca juga: MPR: Amendemen terbatas UUD tidak ubah sistem pemilihan presiden

"Kami pada hari ini juga mendapatkan masukan dari hasil Musyawarah Nasional (Munas) PB NU sendiri pada September 2012 di Pondok Pesantren Kempek Cirebon," kata dia.

Pada intinya, PB NU merasa pemilihan presiden dan wakil presiden lebih tinggi kemaslahatannya dikembalikan ke MPR ketimbang langsung karena lebih banyak mudharatnya. "Itu berdasarkan hasil Munas di Pondok Pesantren Kempek di Cirebon tahun 2012," kata dia. 

Baca juga: F-Gerindra: Amendemen UUD tidak singgung pemilihan presiden

Siradj mengatakan, hasil Munas di masa pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono itu diikuti para ulama besar NU, Salah satu yang hadir adalah Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014, KH Sahal Mahfudz, ikut acara sebelum wafat pada 25 Januari 2014.

"Munas ada dua ya, ada Munas kyai-kyai secara nasional. Kami Tanfidziyahnya, namanya Konferensi Besar. Di NU ya itu, Munas dan Konbes. Jadi itu suara kyai-kyai, bukan suara Tanfidziyah," kata Siradj.

Kendati demikian, dia mengatakan, semua yang disampaikan dalam Munas adalah demi bangsa dan demi rakyat. "Tidak ada dunia politik praktis, enggak. Demi kekuatan solidaritas persatuan dan kesatuan kita," ujar dia lagi.

Baca juga: F-Demokrat tolak amendemen UUD terkait mekanisme pemilihan presiden

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019