Yogyakarta (ANTARA) - Senat Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) memanggil Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman, Rabu, untuk mengklarifikasi dugaan plagiarisme penulisan disertasinya saat menempuh program doktoral di kampus UGM.

Saat tiba di Gedung Pusat UGM, Fathur Rokhman yang juga didampingi penasihat hukumnya lantas menuju Ruang Sidang Senat Akademik UGM untuk melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Senat Akademik UGM Hardyanto Soebono serta anggota Dewan Kehormatan Universitas (DKU) UGM.

Setelah itu, Fathur juga diterima Rektor UGM Panut Mulyono di ruang kerjanya.

"Jadi, ini klarifikasi soal apa yang dia lakukan yang diduga plagiarisme," kata Ketua Senat Akademik UGM Prof. Hardyanto Soebono seusai pertemuan itu.

Menurut Hardyanto, pemanggilan terhadap Fathur Rokhman dilakukan setelah UGM menerima aduan terkait dengan dugaan plagiarisme yang dilakukan Rektor Unnes itu.

Dalam aduan itu, Fathur diduga menjiplak skripsi mahasiswa bimbingannya di Unnes dalam menyusun disertasinya yang berjudul "Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas".

Baca juga: Mediasi Dewan Pers dalam perkara plagiarisme

"Jadi, kami mendengarkan dahulu waktu mahasiswa apa yang terjadi karena Pak Fathur dahulu mahasiswa S-3 di sini," kata Hardyanto Soebono.

Dalam proses klarifikasi, kata Hardyanto, DKU UGM mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Fathur, antara lain mengenai betul atau tidaknya disertasi itu ditulis sendiri olehnya serta siapa yang melakukan penelitian.

"Jawaban, iya, memang dia melakukan," kata Hardyanto.

Setelah mendengarkan klarifikasi dari Fathur, DKU UGM yang beranggotakan tujuh orang kemudian melakukan pengecekan isi disertasi serta membandingkan dengan isi skripsi mahasiswa yang diduga dijiplak Fathur.

Kendati mengaku menemukan adanya kesamaan, menurut Hardyanto, hal itu tak serta-merta dapat disimpulkan bahwa Fathur melakukan plagiarisme.

"Ya, ada (kesamaan) tetapi kesamaan belum tentu plagiat. Kalau ada kesamaan dengan muridnya, ya, memang tugasnya murid itu mencontoh gurunya. Cuma berapa persen. Kalau kesamaannya 90 persen, ya, plagiat namanya," kata Hardyanto.

Baca juga: Aliansi akademisi desak rektor Unnes cabut laporan

Ia mengaanggap wajar apabila isi disertasi Fathur kemudian memiliki kesamaan dengan skripsi mahasiswa yang dibimbing. Pasalnya, saat mengambil program doktoral di UGM, Fathur juga tengah menjadi dosen pembimbing di Unnes.

Menurut dia, sah-sah saja penulisan sebuah disertasi merujuk skripsi atau sebaliknya. Hal itu bisa dilakukan sepanjang disertai pencantuman karya yang dirujuk.

Meski demikian, Hardyanto menegaskan bahwa keputusan akhir yang menyatakan Fathur melakukan tindak plagiarisme atau tidak masih menunggu hasil sidang pleno.

"Hasilnya mungkin sampai Januari (2020) karena Desember tidak ada pleno," kata Hardyanto.

Apabila disertasi itu pada akhirnya dinyatakan terbukti merupakan hasil jiplakan, menurut Hardyanto, sebagai konsekuensinya Fathur harus menerima sanksi etik yang disesuaikan dengan level pelanggarannya, mulai kategori ringan, sedang, sampai berat.

Baca juga: Menristek: Rektor Unnes tidak lakukan plagiat

Baca juga: Redaksi Litera sebut karya penelitian rektor Unnes tidak asli


"Kalau berat, ya, (ijazahnya) bisa dicabut. Kalau ringan, ya, diperingatkan, tidak boleh naik pangkat, misalnya. 'Kan ini lalu dilaporkan ke kementerian," kata Hardyanto.

Saat ditemui awak media, penasihat hukum Fathur, Muhtar Hadi Wibowo membantah bahwa kedatangan Fathur ke UGM berkaitan dengan dugaan plagiarisme yang dituduhkan kepadanya.

Menurut Muhtar Hadi Wibowo, kedatangan Rektor Unnes itu sekadar silaturahmi selaku Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama).

"Sebagai anggota Kagama, silaturahmi saja. Hari ini agendanya bukan itu," kata Muhtar Hadi Wibowo.

Dalam kesempatan itu, Muhtar juga menyebut tuduhan plagiarisme terhadap Fathur hanyalah kebohongan belaka.

"Pasti itu adalah cerita fiktif, kampanye kebohongan yang perlu diluruskan bahwa itu tidak ada," kata Muhtar.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019