"Pilkada langsung atau pilkadasung jauh dari menghasilkan pemimpin yang visioner dan prorakyat, justru pendulum mengarah pada high cost politics dan itu vis a vis berkembangnya bibit korupsi," kata Arizka, saat dihubungi di Bandarlampung, Sabtu.
Bandarlampung (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Lampung (Unila) Arizka Warganegara PhD menyampaikan perlu reformasi elektoral karena dari sistem pemilu, baik pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden secara langsung tidak berdampak pada berkembang dan tumbuhnya kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya ada semacam "messy" (kekacauan) di tengah masyarakat.

"Pilkada langsung atau pilkadasung jauh dari menghasilkan pemimpin yang visioner dan prorakyat, justru pendulum mengarah pada high cost politics dan itu vis a vis berkembangnya bibit korupsi," kata Arizka, saat dihubungi di Bandarlampung, Sabtu.
Baca juga: DKPP evaluasi kode etik penyelenggara pemilu 17 provinsi

Ia pun mengusulkan adanya evaluasi menyeluruh sistem elektoral (pemilu) di Indonesia dan mendorong pilkada tidak langsung atau via DPRD bisa menjadi alternatif.

"Jika pilkadasung tidak dievaluasi, maka saya mengkhawatirkan high cost politics ini akan berdampak pada berkembangnya capitalist elite atau elite kapitalis yang hitungannya hanya untung rugi, tidak mendorong kesejahteraan rakyat," kata pengajar FISIP Unila itu pula.

Arizka menambahkan, kombinasi bisa diusulkan misalkan untuk kabupaten/kota dipilih melalui DPRD, dan gubernur ditunjuk presiden. Pemilihan anggota legislatif DPR dan DPRD tetap dipilih langsung, tapi kembali pada sistem proporsional tertutup, rakyat cukup memilih partai saja bukan nama caleg, sehingga mekanisme internal partai bisa berjalan dan lompat pagar bisa dikurangi.
Baca juga: Presiden jelaskan evaluasi untuk Pemilu yang lebih baik

Ia mencontohkan, negara maju seperti Prancis saja pemilihannya tidak di semua level secara langsung. "Terus terang infrastruktur dan suprastruktur politik kita belum siap," katanya lagi.

Karena itu, lanjut dia, reformasi elektoral mesti segera dilakukan dan menjadi konsern elite.

"Pada awalnya kita sangat mendukung pilkadasung sejak 2005-2019, kalau kita evalusi pilkadasung bagus di awal saja 2005-2010, setelah itu politik menjadi sangat high cost dengan prevalensi politik uang yang tinggi hampir di semua wilayah NKRI," kata dia pula.

Pada akhirnya, lanjut dosen muda itu, reformasi elektoral segera diwujudkan dengan melihat beragam fenomena penyelenggaraan pemilu, baik di level nasional maupun daerah, dari sisi penyelenggara, pemilih, dan peserta.

"Reformasi elektoral menjadi sangat penting untuk menjaga konsistensi nilai demokrasi sebagai bagian dari tuntutan reformasi politik 1998, demokrasi kan alat, bukan tujuan, tujuan bernegara demokrasi adalah keseimbangan antara keterbukaan politik dan kesejahteraan rakyat," kata dia menegaskan.
Baca juga: Bawaslu DKI Jakarta evaluasi hasil Pemilu 2019

Pewarta: Triono Subagyo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019