Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Gugatan tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Baca juga: Komisi II nilai PKPU 18/2019 jalan tengah polemik mantan napi koruptor

Baca juga: KPK prihatin atas langkah KPU terkait mantan napi koruptor

Baca juga: Mantan pimpinan KPK: Jangan pilih parpol pengusung eks napi korupsi


"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu.

ICW dan Perludem selaku pemohon sebelumnya menggugat Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang syarat bagi warga negara, termasuk terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukuman.

Selain itu pasal tersebut juga dapat dimaknai bahwa mantan terpidana korupsi bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.

Oleh karena itu pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Anwar Usman pada amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut.

Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Artinya, mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu lima tahun usai menjalani pidana penjara.

Dengan demikian MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama lima tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.

MK kemudian memutuskan mengubah bunyi pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada, yakni sebagai berikut:

g. (i) Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik, dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, (ii) bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019