Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan ada wacana publik untuk menghadirkan kembali keberadaan utusan golongan di MPR RI seperti yang diusulkan PP Muhammadiyah.

Ia menilai usulan Muhammadiyah tersebut bisa membuka ruang dialektika lain dalam wacana amendemen kelima UUD NRI Tahun 1945.

"Oleh karena itu, pemikiran PP Muhammadiyah mengenai utusan golongan ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh," ujar Bamsoet dalam diskusi "Refleksi Akhir Tahun MPR RI" di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, anggota DPR RI menyuarakan suara rakyat, khususnya dari masing-masing daerah pemilihan, sementara anggota DPD menyuarakan suara daerah per provinsi.

Ia melanjutkan, "Pertanyaannya, siapa yang mewakili suara-suara golongan, khususnya yang minoritas, apakah bisa disalurkan melalui anggota DPR maupun DPD. Namun, sejauh mana efektivitasnya bisa diperdebatkan."

Baca juga: DPD diharapkan buka diri punya utusan golongan

Baca juga: PBNU Usul Utusan Golongan Dihidupkan Lagi


Bamsoet menjelaskan bahwa poin awal munculnya wacana utusan golongan dalam diskusi dengan PP Muhammadiyah dikarenakan keprihatinan atas kondisi demokrasi bangsa Indonesia yang sudah terjebak dalam angka-angka. Padahal, belum tentu angka-angka tersebut betul-betul mewakili suara rakyat keseluruhan.

"Wacana utusan golongan belum dibahas lebih jauh di internal MPR RI, saat PP Muhammadiyah menyampaikan hal tersebut kami lempar lagi ke publik agar bisa mewarnai ruang-ruang dialektika tidak perlu buru-buru ditelan atau dimentahkan," ujarnya.

Menurut dia, biarkan usulan tersebut mewarnai diskursus kebangsaan Indonesia, para ahli hukum tata negara, sosiologi, bahkan sejarawan yang mengerti betul embrio kelahiran Indonesia, perlu terlibat dalam diskusi tersebut.

Hal itu terkait bagaimana sebetulnya jati diri bangsa Indonesia, apakah utusan golongan memang relevan diadakan kembali karena jawaban akhirnya rakyat yang menentukan.

Selain itu, kata dia, terkait dengan wacana amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara, MPR RI 2019—2024 memulainya dengan melakukan silaturahmi kebangsaan.

"Antara lain kepada para mantan presiden, pimpinan partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok masyarakat, hingga media massa," ujarnya.

Menurut dia, pimpinan MPR RI sudah berdiskusi dengan presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Baca juga: MPR: haluan negara tidak cukup diatur melalui UU

Baca juga: Ketua MPR sebut PB NU dorong presiden kembali dipilih MPR


Dalam waktu dekat, kata dia, pimpinan MPR RI akan berkunjung ke Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia dan sejumlah kunjungan ke media massa juga sudah dilakukan.

"Jadi atau tidaknya amendemen kelima, tergantung pada kehendak rakyat. MPR RI tidak mungkin melangkahi rakyat. Oleh karena itulah, kami buka ruang dialog seluasnya," katanya.

Bamsoet mengatakan bahwa MPR RI punya waktu emas (golden time) hingga 2023 untuk menyelesaikan apakah amendemen bisa dilakukan pada periode ini atau tidak.

Hal itu, menurut dia, karena jika sudah memasuki 2024 dan mendekati pemilu, khawatir ada penilaian politis yang tidak sejalan kepentingan bangsa.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019