Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengatakan penerbitan peraturan presiden terkait dengan KPK memang diamanatkan di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Memang perpres itu tuntutan dari UU-nya. UU menugaskan maka kita siapkan tata organisasinya, tentang Dewan Pengawas (Dewas) karena ada ketentuan tentang Dewas kemudian mengenai ASN-nya karena UU menyatakan (pegawai KPK) akan menjadi ASN (aparatur sipil negara), ada 2 tahun kurun waktu maka harus disiapkan perpresnya," kata Yasonna dalam acara "Refleksi Akhir Tahun 2019" di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa pemerintah berencana menerbitkan tiga perpres terkait dengan KPK, yaitu yang mengatur Dewan Pengawas, susunan organisasi, dan status ASN bagi pegawai KPK.

"Yang susahnya 'kan langsung disampaikan bahwa seolah-olah melemahkan, ini 'kan namanya belum dilihat secara utuh," ungkap Yasonna.

Baca juga: Pemerintah akan terbitkan tiga perpres terkait KPK

Yasonna meminta masyarakat memberikan kepercayaan kepada pemerintah dalam membuat perpres tersebut.

"Kasih saja kepercayaan, kita lihat nanti. Kita lihat betul-betul. Kita kawal bersama. Kita jaga bersama. Ini harus kita selesaikan secara baik," ungkap Yasonna.

Tujuannya, menurut Yasonna, adalah agar pencegahan dan penindakan KPK dapat berjalan secara baik.

"Prevention is better than cure, mencegah sakit lebih baik dari pada mengobati sakit, sekarang karena sudah ada penyakit tetapi ada pencegahan juga agar yang belum sakit didorong untuk membangun sistem good governance," kata Yasonna menjelaskan.

Namun, hingga saat ini, Presiden Joko Widodo belum menandatangani ketiga perpres tersebut karena masih dalam finalisasi.

Dalam draf perpres mengenai organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK disebutkan bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertangggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara (Pasal 1).

Dalam UU No. 19/2019 menghilangkan kewenangan pimpinan KPK sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum seperti dalam Pasal 21 UU No. 30/2001 tentang KPK. Artinya tindakan pimpinan akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan karena pimpinan KPK tidak bisa lagi menandatangani surat perintah penyelidikan, penyidikan, atau berkas penuntutan.

Baca juga: KPK tegaskan Perpres pemilik manfaat bukan hukum dunia usaha Indonesia

Selanjutnya, Dewan Pengawas KPK adalah struktur baru dalam tubuh KPK. Kehadiran Dewan Pengawas di bawah Presiden memang diatur sebagaimana dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.

Dewan Pengawas berdasarkan Pasal 37 B punya enam tugas, yaitu Pasal 37B  mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Selain itu, menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU; menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK; dan melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.

Pegawai KPK berdasarkan perintah UU No. 19/2019 adalah ASN. Pasal 69B Ayat (1) berbunyi: "Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan."

Baca juga: KPK konfirmasi saksi penerbitan Perpres Dana Perimbangan

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019