Mereka beroperasi bahkan sampai di Perairan Afrika Timur
Jakarta (ANTARA) - Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bekerja sama mendorong penegakan HAM perikanan dengan menggagas model KIE (Knowledge, Information and Education) untuk advokasi isu HAM.

"Iskindo menyadari isu HAM Perikanan ini tidak bisa hanya disandarkan pada Pemerintah. Perlu kerja-kerja kolaboratif dan masif bahkan hingga tingkat RT/RW," kata Koordinator Bidang Ketenagakerjaan Iskindo, Kamaruddin, dalam diskusi di Jakarta, Rabu.

Ia mengingatkan bahwa pengalaman kasus seperti kasus Benjina Maluku dan banyaknya WNI yang jadi ABK pada kapal-kapal ikan illegal yang ditangkap tiga tahun terakhir, umumnya berasal dari Pantura dan Pansel Jawa, sehingga ini yang harus disikapi dengan solutif oleh semua pihak, termasuk Pemerintah Daerah.

Kamaruddin mengungkapkan, hasil kunjungan yang dilakukan pihaknya ke beberapa wilayah kabupaten pesisir seperti Indramayu, Tegal, Pati hingga Cirebon, Pangandaran, Karawang hingga Sukabumi dalam dua tahun terakhir menunjukkan betapa isu HAM bidang perikanan masih jadi momok tata kelola perikanan nasional.

Menurut dia, banyak fakta menunjukkan masih berlangsungnya tekanan bagi nelayan, bagi ABK serta ketidakberesan administrasi kerja.

"Dalam bulan Desember lalu, saya bertemu tiga orang mantan ABK asal Slawi bulan lalu di Tegal yang mengaku jasanya belum dibayar oleh perusahaan pengguna ABK setelah beroperasi selama 9 bulan di lautan. Mereka beroperasi bahkan sampai di Perairan Afrika Timur," ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan menyebut bahwa pengalaman DFW dalam dua tahun terakhir ini amat relevan dengan isu-isu HAM Perikanan.

"Program kami bersama SAFE Seas atau Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea bersama Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII) menekankan pada perlunya penyadartahuan kepada banyak pihak tentang isu ini. DFW menemukan setidaknya tiga gap terkait isu HAM perikanan ini," kata Abdi.

Abdi memaparkan, tiga kesenjangan terkait isu HAM perikanan pertama adalah keterbatasan pengetahuan para pelaku perikanan terutama seperti ABK terkait hak-hak dasar mereka sebagai pekerja di laut.

Kedua, lanjutnya, adalah sulitnya memperoleh informasi resmi terkait bekerja di kapal perikanan terutama di luar negeri. Ketiga, terbatasnya kapasitas para pihak di daerah terutama Pantura dan Pansel Jawa dalam merespons kasus HAM Perikanan ini.

"Bukan hanya kapasitas tetapi belum intensifnya koordinasi penyelesaian kasus," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia.

Merujuk temuan organisasi migrasi IOM atau The International Organization for Migration disebutkan ada 2289 orang tercatat sebagai korban ABK Indonesia yang ada di luar negeri, baik di kapal ikan maupun non ikan.

"Data resmi Pemerintah terkait berapa sesungguhnya ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri belum ada, kalaupun ada itu sangat terbatas. Ini berkaitan dengan jalur-jalur perpindahan tenaga kerja seperti BNP2TKI, lewat ketentuan Kemenhub (pelaut) dan Pemda (TKI/TKW). Jumlah ABK Ikan berperkara, atau yang bisa jadi tersangkut isu HAM Perikanan seperti puncak gunung es," tambah Abdi.

Baca juga: Iskindo: Menteri Kelautan Perikanan perlu konsisten tenggelamkan kapal
Baca juga: Iskindo: Intervensi teknologi kepada nelayan jadi kebutuhan mendesak

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020