Jakarta,  (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, menolak eksepsi yang diajukan Sekjen Komite Bangkit Indonesia (KBI), Ferry Joko Juliantono, terdakwa aksi unjuk rasa menolak kenaikkan harga BBM yang berujung rusuh.

Hal itu dibacakan majelis hakim yang dipimpin Andi Makassau dalam pembacaan putusan sela perkara Ferry Joko Juliantono, di PN Jakpus, Kamis.

"Menolak eksepsi terdakwa dan penasehat hukum," kata majelis hakim.

Ferry dikenai delapan dakwaan dan diancam dengan lima pasal KUHP, yakni, yakni, Pasal 160 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Pasal 212 jo Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP, Pasal 214 ayat 2 ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP, Pasal 170 ayat 2 ke 1 jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP, dan Pasal 187 ke-1 jo Pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP.

Majelis hakim juga menyatakan surat dakwaan terhadap terdakwa, sudah sesuai dengan Pasal 143 KUHP, dan sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan.

"Sidang dilanjutkan pada 15 Desember 2008 dengan pemeriksaan saksi," katanya

Sebelumnya dilaporkan, Ferry Joko Juliantono, menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dirinya terkait aksi penolakkan kenaikan harga BBM yang berujung rusuh, salah.

"Dakwaan pertama dan kedua, jaksa secara salah menyimpulkan bahwa pertemuan tersebut menjadi dakwaan terhadap saya yang dianggap menghasut," katanya saat membacakan eksepsi dalam sidang lanjutan terhadap dirinya, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (26/11).

Ia mengatakan dakwaan pertama dan kedua, dirinya diancam pidana dalam Pasal 160 dan 160 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan dasar pertemuan Konsolidasi Nasional Pemuda, Mahasiswa dan Aktivis Pergerakan yang diselenggarakan di Wisma PKBI pada 24 April 2008.

Dijelaskan, pertemuan itu diselenggarakan dengan izin pihak kepolisian dan berisi tentang diskusi gagasan perlunya jalan baru ekonomi Indonesia serta menganalisa situasi sosial masyarakat.

"Dalam setiap pertemuan politik tentunya ada hal-hal yang lazim disampaikan oleh aktivis tentang situasi kekinian," katanya.

Ia juga menanggapi dakwaan ketiga dan keenam, dengan diancam Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP dengan dasar terjadinya kekerasan yang terjadi, adalah, salah.

Pasalnya, kata dia, tidak terdapatnya bukti-bukti yang dapat mengaitkan dirinya dengan peristiwa kekerasannya.(*)

 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008