Jakarta (ANTARA) - Polemik persetujuan atau penolakan pemulangan sekitar 600 orang, asal atau berdarah Indonesia, di penampungan, Suriah, bagi eks pengikut kelompok teroris lintas negara, ISIS, telah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah tidak memiliki rencana memulangkan mereka demi menjaga keamanan 260 juta jiwa penduduk Indonesia.

Pernyataan Presiden di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/2) tersebut merupakan penegasan atas hasil rapat kabinet terbatas di Istana Bogor sehari sebelumnya yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa pemerintah sudah memutuskan tidak memulangkan mereka karena pemerintah ingin memberi rasa aman kepada 260 juta warga Indonesia di Tanah Air dari ancaman tindak terorisme.

Hingga tulisan ini dibuat, belum diperoleh data resmi identitas mereka, berapa jumlah orang dewasa dan anak-anak, berasal dari daerah mana, dan apa peran mereka dalam keterlibatan di ISIS apakah sebagai kombatan di sejumlah kawasan pertempuran, memberikan dukungan bagi pasokan persenjataan dan logistik, atau sama sekali tak terlibat pertempuran.

Baca juga: Pemerintah tegaskan tidak berencana pulangkan WNI terkait ISIS

Baca juga: Benny Mamoto: keputusan pemerintah tak pulangkan WNI eks ISIS tepat

Presiden telah memerintahkan untuk mengidentifikasi mereka secara lengkap, satu per satu. Dari identifikasi dan verifikasi akan terlihat seluruh data orang tersebut.

Presiden juga menyampaikan pemerintah masih akan memberikan peluang untuk anak-anak usia di bawah 10 tahun yang berstatus yatim piatu untuk kembali ke Tanah Air.

Hanya sebagai perbandingan, pemerintah Rusia juga telah memulangkan sekitar 200 anak dari negeri itu yang diikutkan oleh keluarganya sebagai pengikut ISIS.

Sikap Presiden Jokowi memberikan peluang bagi anak-anak untuk dipulangkan tampaknya berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Apalagi Indonesia juga per Oktober 2019 telah menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020—2022.

Memang pernah ada desakan dari Ketua Komisi Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet, saat berpidato dalam pembukaan Sidang Ke-41 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 24 Juni 2019, bahwa semua negara yang warganya ada yang terlibat ISIS untuk memikul tanggung jawab atas warga negara mereka dan bekerja bersama menyediakan sumber daya untuk membantu otoritas di Suriah dan Irak untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak.

Bachelet saat itu menyebutkan terdapat lebih dari 55.000 eks kombatan ISIS dan keluarganya ditahan di Suriah dan Irak, menyusul kejatuhan kelompok teroris ISIS pada tahun 2017 di Irak dan Maret 2019 di Suriah (setelah mendeklarasikan ISIS pada tahun 2014 atas nama kilafah dan membuat banyak warga negara dari negara lain bergabung).

Baca juga: PBNU tegaskan tolak wacana pemulangan eks kombatan ISIS

Baca juga: Peneliti: Wacana pemulangan eks-ISIS bisa perkuat kontra radikalisasi


Mayoritas dari jumlah tersebut berasal dari dua negara tersebut. Akan tetapi, dari jumlah tersebut terdapat orang-orang dari 50 negara lainnya. Lebih dari 11.000 anggota keluarga dari luar negeri, mayoritas anak-anak di bawah usia 12 tahun, ditahan di penampungan Al Hol Suriah dalam kondisi di bawah standar.

Kembali ke pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa perlu identifikasi terhadap mereka secara lengkap, satu per satu, memang menjadi keniscayaan karena dari proses tersebut dapat memberikan gambaran keterlibatan mereka masing-masing dalam ISIS. Misalnya, bagi yang terlibat langsung sebagai kombatan, harus tetap menjalani proses hukum, sedangkan bagi yang tidak tahu-menahu diajak ke sana karena masih anak-anakl tentau saja akan lain dalam mempertimbangkannya.

Identifikasi atas mereka menjadi hal yang sangat menentukan bagi keputusan pemerintah selanjutnya sekaligus masa depan mereka.

Perlu Proses

Untuk menentukan seseorang dinyatakan kehilangan kewarganegaraan tampaknya perlu proses dan ada tata caranya. Hal itu tergambarkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Sebagaimana tertuan dalam UU No. 12/2006 pada Bab IV Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 23 menyebutkan bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

Berikutnya, d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;

Ada juga, h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Baca juga: DPR: Kita masih mengacu UU Nomor 12/2006 soal eks ISIS

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Huruf d tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.

Pasal 25 menyebutkan (1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. (2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. (4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Baca juga: Anak-anak WNI eks ISIS telantar, Mahfud: Silakan lapor

Pasal 26 menyatakan (1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. (2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.

(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.

Pasal 27 menyatakan bahwa kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.

Pasal 28 menunjukkan setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.

Pasal 29 menyebutkan menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 30, ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal-pasal dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut tentu saja bersifat mengikat dan menjadi landasan yuridis.

Bagi Guru Besar Hukum Prof. Dr. Gayus Lumbuun yang pernah bertugas sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung dan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, status kewarganegaraan bekas kombatan ISIS harus diputus lewat proses peradilan sebagai cerminan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Baca juga: Mahfud sebut mantan Kombatan ISIS tak akui sebagai WNI

Status kewarganegaraan tidak boleh dicabut secara serta-merta oleh Pemerintah meskipun aturan undang-undang memungkinkan sanksi tersebut. Dia menjelaskan bahwa undang-undang merupakan aturan legal abstrak (law in abstracto) yang seharusnya dibuat terang atau konkret melalui proses persidangan (law in concreto).

"Ini harus diuji dahulu di pengadilan, betul tidak dia bakar paspor? Yang mana dari 600 ini yang bakar paspor? Berapa anak kecil yang dibawa bapaknya ke luar negeri? Berapa yang lahir di luar negeri?" kata Gayus.

Peradilan in absentia atau persidangan tanpa menghadirkan orang yang diadili dapat menjadi salah satu cara dalam menyelesaikan permasalahan tersebut secara hukum.

Baca juga: Peradilan "in absentia" dapat dibuat tentukan nasib WNI eks ISIS

Copyright © ANTARA 2020