Meulaboh (ANTARA) - Kepala Sekretariat Majelis Adat Provinsi Aceh (MAA) Syaiba Ibrahim mengatakan sebanyak 18 perkara tindak pidana ringan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan secara adat oleh aparatur desa.

“Kalau selama ini sejumlah perkara ringan ditangani kepolisian atau pengadilan, namun kini perkara ringan tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan oleh aparat desa, tanpa harus disidangkan di pengadilan,” kata Syaiba Ibrahim di Meulaboh, Kamis.

Baca juga: Kepala sekolah dan wakilnya divonis hukum cambuk 30 kali di Aceh Jaya

Ada pun ke-18 perkara yang bisa diselesaikan tanpa harus melalui proses peradilan negara diantaranya, perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh (ahli waris/warisan), perselisihan antar warga, khalwat (mesum), perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat.

Kemudian perkara pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), serta perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.

Menurut dia, dasar hukum atau kewenangan untuk menyelesaikan perkara ringan tersebut juga sudah diatur di dalam Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Baca juga: DPRA: Hukum nasional belum mampu menjamin perlindungan keluarga

Baca juga: Lapas Meulaboh fasilitasi eksukusi cambuk


Hal ini juga diperkuat lagi dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat, serta terdapat keputusan bersama antara Gubernur Aceh, kapolda dan MAA Aceh.

Pihaknya berharap perkara tindak pidana ringan yang terjadi di masyarakat Aceh, agar dapat diselesaikan di tingkat desa (gampong) dengan melibatkan aparatur desa tanpa harus diselesaikan ke ranah hukum.

Meski penerapan aturan ini belum maksimal, namun Majelis Adat Provinsi Aceh (MAA), kata Syaiba Ibrahim, terus mendorong agar hal tersebut dapat diterapkan sehingga proses peradilan adat di Aceh dapat terus dilestarikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pewarta: Teuku Dedi Iskandar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020