Jakarta (ANTARA) - Sebagai moda transportasi massal, Indonesia memang agak telat mengadopsi Mass Rapid Transit (MRT) dibanding negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Prancis.

Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, Singapura tercatat sudah lebih dulu mengadopsinya dan kini sudah menjadi moda transportasi andalan yang membentang di seluruh Negeri Singa.

Namun, masyarakat Indonesia patut berbangga karena Indonesia kini telah memiliki MRT dengan istilah yang sudah lebih diakrabkan di telinga, Moda Raya Terpadu (MRT) yang dioperatori PT MRT Jakarta.

Tepat pada 24 Maret 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan operasional MRT Jakarta dengan rute Bundaran HI-Lebak Bulus PP sebagai moda transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta.

Animo masyarakat membeludak, terutama pada awal diluncurkan karena tiket masih digratiskan. Alhasil, tiket pun ludes diserbu masyarakat yang ingin merasakan moda transportasi baru itu.

Bahkan, sejak tanggal 12 Maret 2019 atau mulai diuji coba layanan MRT dengan masyarakat sebagai penumpang umum pun sudah banyak yang ingin menjajal rasanya hasil megaproyek transportasi itu.

Rute Bundaran HI-Lebak Bulus adalah fase pertama megaproyek MRT. Artinya, masih ada kelanjutan fase-fase berikutnya yang akan semakin menghubungkan beberapa kawasan secara lebih praktis dan tanpa macet tentunya.

Pembangunan MRT fase I menelan biaya Rp16 triliun, dengan 13 stasiun yang terbentang di jalur sepanjang 15,7 kilometer. Rencananya, MRT fase II akan menghubungkan Bundaran HI-Ancol yang terbagi dalam dua paket proyek, yakni fase II A dan II B.

Selanjutnya, MRT Jakarta akan melakukan integrasi pembangunan Fase II B atau yang disebut sebagai Jalur Utara-Selatan, dan akan dilanjutkan dengan pembangunan Jalur Timur-Barat. Daerah Kota akan menjadi titik awal dibangunnya Fase II B dengan titik pemberhentian di Ancol Barat.


Kian digandrungi

Kehadiran MRT sebagai moda transportasi baru ternyata mendapatkan tempat di masyarakat, terbukti dari tingkat keterisian penumpang atau okupansi yang cukup tinggi.

Lihat saja, sejak beroperasi komersial mulai 1 April hingga 18 Desember 2019 MRT Jakarta telah mengangkut sebanyak 22,4 juta penumpang.

Pada Desember 2019, MRT rata-rata mengangkut sebanyak 94.786 penumpang per hari, atau naik signifikan dibanding capaian November sebanyak 89.327 penumpang per hari.

Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar menyebutkan setidaknya ada dua faktor yang membuat kenaikan okupansi pada bulan Desember 2019, yakni mulai berlakunya kartu multi trip (MTT) dan karena cuaca hujan.

Tingginya okupansi tentu berimplikasi pada besaran pendapatan operator layanan MRT yang berstatus badan usaha milik daerah (BUMD) tersebut.

Belum genap setahun beroperasi saja, yakni terhitung per Desember 2019 PT MRT Jakarta dapat membukukan laba lebih dari Rp60 miliar.

Saat itu, MRT Jakarta membukukan pendapatan perusahaan Rp1 triliun hingga akhir tahun, sementara pengeluaran kotor untuk biaya operasional mencapai Rp940 miliar.

Pendapatan itu, terbagi atas pendapatan dari tiket Rp180 miliar, kemudian pendapatan nontiket atau non-farebox sebesar Rp225 miliar yang kalau boleh dirinci, yakni periklanan (55 persen), hak penamaan stasiun (naming rights) 33 persen, telekomunikasi (2 persen) dan retail serta UMKM sebesar 1 persen.

Terakhir, pendapatan berupa subsidi tiket dari pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp560 miliar yang diambil dari suntikan modal atau penyertaan modal daerah, ditambah pendapatan lain-lain dari bunga bank dan selisih kurs sekitar Rp40 miliar.

Dirut MRT Jakarta optimistis kinerja keuangan akan terus tumbuh apabila pelayanan kepada masyarakat terus ditingkatkan dan dijaga sehingga kepercayaan publik serta pelaku usaha untuk bekerja sama semakin naik.

Tak muluk-muluk jika MRT Jakarta menargetkan pada 2020 mampu mencatatkan laba Rp200-Rp250 miliar, dengan proyeksi pendapatan subsidi naik menjadi Rp900 miliar. Bahkan, William pun berani memproyeksikan perolehan laba Rp300-Rp350 miliar pada 2021.


Moda pemersatu negeri

Bicara MRT tak melulu soal untung rugi secara ekonomi, namun MRT juga bisa memiliki manfaat sebagai akses bertransportasi dan bersilaturahmi.

Peristiwa bersejarah pun pernah terjadi di MRT sebagai saksi bisu "bersatunya" dua tokoh bangsa, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang sempat membuat masing-masing kubu pendukung bersitegang gara-gara pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019.

Pada 13 Juli 2019, Jokowi yang kala itu masih berstatus calon presiden terpilih bertemu dengan Prabowo, rivalnya di Pilpres 2019, setelah banyak spekulasi berkembang liar tentang hubungan keduanya pascapilpres.

Inisiatif Jokowi mengajak Prabowo bertemu di MRT dinilai sejumlah pihak sebagai keputusan yang tepat, sebab moda transportasi baru itu memang sudah lama dinanti masyarakat, demikian pula dengan pertemuan Jokowi-Prabowo yang juga dinanti masyarakat.

Bahkan, kedua tokoh itu pun menjajal kenyamanan MRT, naik dari Stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Senayan, sebelum dilanjutkan dengan santap siang di salah satu restoran di kawasan Senayan.

Pertemuan itu merupakan awal dari isyarat merapatnya Prabowo Subianto ke Jokowi, bahkan kini Prabowo dipercaya sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju.

Erick Thohir yang saat itu menjabat Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf pun menyebutkan pertemuan calon presiden terpilih Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto di MRT merupakan simbol dari pembangunan Indonesia.

"Pertemuan kedua tokoh itu sangat spesial. Kalau orang-orang di gedung mewah, di tempat yang tidak terjangkau oleh rakyat, tetapi mereka ketemu di kereta MRT," kata Erick yang kini dipercaya sebagai Menteri BUMN.

Saling provokasi, saling caci maki, saling "bully" antara dua kubu pendukung yang sempat disebut dengan "cebong" dan "kampret" yang kala itu luar biasa ekskalasinya, akhirnya mereda.

Barangkali, sekiranya MRT kala itu belum ada, hasilnya bisa lain cerita. Namun, setidaknya momentum itu bisa diambil hikmahnya bahwa MRT adalah moda pemersatu negeri, apalagi jika sudah menyambung ke seluruh pelosok wilayah RI.

Bukankah jika akses transportasi telah terbangun rapi akan memudahkan masyarakat untuk saling terkoneksi dan berinteraksi secara langsung? Artinya, komunikasi masyarakat akan semakin terjalin baik tanpa terkendala jarak dan waktu.

Ketika komunikasi berjalan baik, silaturahmi antarwarga juga pasti terpelihara baik, sehingga tak perlu lagi ada kubu-kubuan pendukung calon yang justru memecah belah bangsa.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020