Sayangnya bayang-bayang gelombang PHK bisa berdampak signifikan baik atas PPN maupun PPh orang pribadi, sehingga pembaharuan kebijakan PPN menjadi penting
Jakarta (ANTARA) - Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Bawono Kristiaji memprediksikan sembilan kondisi sektor pajak di masa depan setelah pandemi COVID-19 berakhir, dengan belajar dari kondisi pajak pasca-krisis ekonomi 2008.

“Kita perlu menggarisbawahi langkah yang diambil pemerintah pada jangka pendek akan berpengaruh bagi postur fiskal jangka menengah-panjang. Relaksasi saat ini mungkin berimbas bagi pemungutan eksesif di masa depan,” katanya dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Selasa.

Pertama, akan ada konsolidasi fiskal dengan ditandai oleh pengelolaan belanja yang prudent serta optimalisasi penerimaan pajak baik pusat maupun daerah.

Kedua, PPN akan relatif lebih tahan goncangan dibandingkan jenis pajak lainnya dengan syarat supply shock tidak akan mendistorsi tingkat kenaikan harga secara umum dan daya beli masyarakat tidak terganggu.

“Sayangnya bayang-bayang gelombang PHK bisa berdampak signifikan baik atas PPN maupun PPh orang pribadi, sehingga pembaharuan kebijakan PPN menjadi penting,” kata Bawono.

Ketiga, isu mengenai pajak lingkungan, instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas, serta desain kembali kebijakan untuk sektor kesehatan akan menjadi agenda di masa mendatang.

Baca juga: Kemenkeu beberkan 73 barang bebas pajak impor untuk tangani COVID-19

Keempat, terbentuknya volatilitas regulasi dan reformasi pajak karena adanya tekanan untuk menanggulangi defisit dan utang, serta upaya menjaga kestabilan ekonomi sehingga urgensi melakukan reformasi akan meningkat tajam.

Kelima, kompetisi pajak akan meningkat karena pandemi COVID-19 berdampak buruk bagi ekonomi sehingga peran aktif sektor swasta dan aliran modal ke dalam negeri menjustifikasi kebutuhan serta mendorong daya saing di tingkat global termasuk melalui instrumen pajak.

Keenam, sentimen secara global akan memasuki fase baru yaitu mengarah kepada distribusi pajak lebih adil yang pada hakikatnya telah tampak dari pilar satu dan dua proposal pajak digital.

Ketujuh, akan banyak diskusi soal terobosan dalam menambal penerimaan dengan pemicu isu ketimpangan karena pengalaman dari krisis sebelumnya menunjukkan dampak bagi ketimpangan baik penghasilan dan aset yang kian melebar.

Penyesuaian threshold bagi kelompok berpenghasilan rendah, tarif progresif PPh orang pribadi, maupun pajak yang berbasis atas kekayaan juga akan semakin dipertimbangkan.

Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan yaitu melalui administrasi pajak berbasis teknologi informasi yang tidak hanya terkait pelayanan dan pelaporan namun juga ke arah e-audit, e-access, serta penggunaan artificial intelligence.

Terakhir, sengketa meningkat akibat adanya perubahan regulasi dan tingginya kebutuhan penerimaan yang juga terjadi seperti setelah krisis 2008 lalu.

Tak hanya itu, jumlah wajib pajak juga diprediksikan meningkat karena kondisi pandemi COVID-19 menciptakan kebutuhan untuk tax assurance, pengelolaan risiko pajak lebih baik, serta penerapan tax control framework dalam perusahaan.

“Probabilitas terjadinya sembilan prediksi di atas tentu berbeda-beda antarnegara dan akan dipengaruhi seberapa lama dan dalam dampak COVID-19 terhadap ekonomi,” tegasnya.

Baca juga: Ekonom nilai insentif pajak di Indonesia sejalan tren global

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020