Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik siaran pers Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pada Senin (27/4) yang menyebut "tidak koar-koar ke media" terkait kerja senyap KPK saat ini.

"Siaran pers yang disampaikan Firli ke media layak untuk dikritisi bersama. Utamanya pada bagian "tidak koar-koar ke media", ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangannya di Jakarta, Selasa.

Baca juga: ICW: Penangkapan Ketua DPRD Muara Enim bukan hal membanggakan

Firli, kata dia, sebaiknya harus membuka dan membaca secara seksama isi dari Undang-Undang KPK.

"Pasal 5 tegas menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas KPK berpegang pada azas keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum. Ini mengartikan bahwa masyarakat berhak tahu apa yang sedang dikerjakan oleh KPK. Hal itu diketahui melalui publikasi ke media," ucap Kurnia.

Oleh karena itu, ia mengatakan selayaknya pernyataan itu tidak pantas dikeluarkan oleh seorang Ketua KPK.

Sebelumnya, Firli mengungkapkan bahwa penangkapan yang dilakukan tanpa pengumuman status tersangka adalah ciri khas dari kerja-kerja senyap KPK saat ini.

"Adapun penangkapan yang dilakukan tanpa pengumuman status tersangka adalah ciri khas dari kerja-kerja senyap KPK saat ini, tidak koar-koar di media dengan tetap menjaga stabilitas bangsa di tengah COVID-19," ujar Firli melalui keterangannya di Jakarta, Senin (27/4).

Baca juga: KPK hadirkan tersangka saat konferensi pers merupakan hal baru

Hal tersebut sebagai respons atas penangkapan Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim Aries HB (AHB) dan Plt Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Ramlan Suryadi (RS) dalam pengembangan kasus suap proyek-proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun Anggaran 2019.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan penangkapan tersebut sebenarnya bukan merupakan prestasi yang membanggakan. Sebab, kata dia, kasus itu merupakan pengembangan saja dari penyelidikan yang telah dilakukan oleh pimpinan KPK sebelumnya.

"Publik akan bangga ke KPK jika Firli Bahuri dapat menangkap Harun Masiku, Nurhadi, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, melanjutkan kasus "bailout" Bank Century, dan menuntaskan kasus pengadaan KTP-elektronik. Namun, melihat pola kerja pimpinan KPK saat ini rasanya keinginan publik itu tidak akan pernah terealisasi," ucap Kurnia.

Untuk diketahui, dua tersangka tersebut ditangkap pada Minggu (26/4) di Palembang, Sumatera Selatan.

Setelah menjalani pemeriksaan awal di gedung Polda Sumatera Selatan, selanjutnya keduanya dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di gedung KPK.

Baca juga: KPK tahan Ketua DPRD Muara Enim

Adapun penyidikan terhadap keduanya telah dilakukan sejak Selasa (3/3), namun KPK baru mengumumkan status tersangka pada Senin (27/4).

Aries diduga menerima suap Rp3,031 miliar dari Robi Okta Fahlefi (ROF), swasta atau pemilik PT Enra Sari berhubungan dengan commitment fee perolehan Robi atas 16 paket pekerjaan di Kabupaten Muara Enim.

Robi juga diduga memberikan suap sebesar Rp1,115 miliar dan satu unit telepon genggam merk Samsung Note 10 kepada Ramlan.

Robi telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka bersama Bupati Muara Enim Ahmad Yani (AYN) dan Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin Muhtar (EM).

Robi telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palembang dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan Ahmad Yani dan Elfin masih menjalani persidangan.

Baca juga: Firli Bahuri ungkap ciri khas kerja senyap KPK saat ini

Baca juga: Kronologi penangkapan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB

Baca juga: KPK tetapkan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB sebagai tersangka

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020