Jakarta (ANTARA) - Sikap pemerintah Vietnam terkait masalah Laut China Selatan (LCS) dari tahun ke tahun tak berubah sedikitpun. Negara anggota ASEAN ini tetap konsisten dengan hukum internasional khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan keputusan Mahkamah Arbitrase (PCA) di Den Haag (Belanda) pada 12/07/2016.

Wakil tetap Vietnam untuk PBB menyampaikan nota kepada Sekjen PBB pada 30 Maret 2020 yang berisi pernyataan sikap tersebut. Dalam nota itu Vietnam juga menyampaikan protes terhadap klaim China yang dipandang melanggar kedaulatan Vietnam, hak-hak berdaulat dan jurisdiksi di Laut Timur, sebuah kawasan yang masuk negara itu menunjuk LCS. Bukti-bukti sejarah dan landasan hukum klaim Vietnam atas Kepulauan Hoang Sa (Paracel) dan Kepulauan Truong Sa (Spratly) sesuai dengan hukum internasional.

Tak hanya China dan Vietnam beserta negara-negara anggota ASEAN tetapi juga negara-negara yang berada di luar wilayah memandang LCS memiliki nilai strategis dan merupakan kawasan perairan paling sibuk di dunia, serta mempunyai nilai komersial.

Namun, kawasan ini dapat menimbulkan risiko ketakstabilan karena pembajakan kapal-kapal yang melintasi perairan ini atau operasi militer di pulau buatan yang dibangun secara ilegal. Ini akan memotivasi negara-negara besar dengan kepentingan di bidang ini untuk campur tangan dalam masalah Laut Cina Selatan

China sebagai salah satu negara penandatangan UNCLOS 1982 masih aktif menyelesaikan pembangunan pulau-pulau yang disengketakan dan secara bertahap melengkapinya dengan peralatan militer yang canggih.

Perhatian yang diberikan khusus kepada wilayah ini disebabkan karena negara-negara di kawasan tersebut serta negara-negara di dunia memandang rute laut di LCS sangat penting. Jika timbul bentrok ekonomi di banyak negara di seluruh dunia akan terpengaruh.

Mengingat pentingnya keamanan maritim, terutama yang berkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN, hal ini dipandang penting daripada masalah individu masing-masing negara dengan China. Oleh karena itu ASEAN harus memiliki konsensus dan solidaritas untuk mengatasi tantangan ini, melalui negosiasi awal dengan China guna meluncurkan kode etik para pihak di LCS (COC) yang substantif dan efektif.

Hal ini juga akan memberikan kontribusi untuk pemeliharaan kepentingan nasional yang selaras dengan manfaat seluruh sektor, sehingga membantu untuk mempertahankan peran sentral ASEAN dalam struktur keamanan regional.

Keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag, Belanda 12 Juli 2016 merupakan dasar hukum penting bagi ASEAN dan China untuk mempercepat proses melakukan konsultasi dan negosiasi dalam rangka menuju penyelesaian awal dari COC yang mengikat secara hukum, memiliki kemampuan untuk tidak hanya mencegah tetapi juga menangani kerumitan yang bisa terjadi di wilayah itu.

Pertanyaan yang sangat penting dapat diajukan kepada ASEAN ialah bagaimana organisasi ini yang sudah lebih setengah abad eksis dapat lebih efektif dalam mengatasi tantangan keamanan yang muncul untuk terus memainkan perannya, mempertahankan perdamaian, untuk mengembangkan kemakmuran.

ASEAN perlu menegaskan peran dan posisinya sebagai organisasi regional yang paling sukses di tengah tantangan dan peluang baru. Para pemimpin negara-negara anggota ASEAN perlu meningkatkan solidaritas, serta bersama-sama mengatasi tantangan-tantangan ini untuk melanjutkan menciptakan lingkungan yang damai dan stabilitas demi pembangunan bersama.

China dan ASEAN dalam sengketa LCS harus mengikuti Pernyataan Bersama Perilaku di LCS (DOC) - yang telah ditandatangani melalui 2002. Para pihak harus berkomitmen untuk mematuhi UNCLOS dan peraturan internasional lainnya mengenai hubungan antara negara-negara. DOC yang menyatakan anggota ASEAN dan China harus "menyelesaikan sengketa dengan cara damai melalui konsultasi ramah dan negosiasi, tanpa menggunakan ancaman atau kekuatan."

Selain itu, keputusan Mahkamah Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag (Belanda) pada 12/07/2016 dapat dianggap sebagai tonggak penting dalam upaya untuk memecahkan sengketa LCS melalui cara-cara damai, sesuai dengan hukum internasional. PCA telah menolak klaim "hak sejarah" China atas wilayah laut yang terletak di "9 garis-garis."

Pengadilan menyimpulkan bahwa China tidak memiliki "hak sebagai sejarah" untuk perairan di LCS dan tidak memiliki dasar hukum untuk membuat klaim tentang "hak sejarah" atas sumber daya alam di wilayah tersebut.

Pencegahan konflik, termasuk konflik di laut adalah tanggung jawab semua bangsa dan masyarakat internasional, yang mengharuskan negara-negara di dalam dan luar daerah untuk bertindak tulus, membangun kepercayaan satu sama lain dan secara aktif bekerja sama untuk menjaga stabilitas kawasan.

Untuk mencegah dan menghentikan konflik di LCS, pertama ASEAN yang di dalamnya Vietnam dan menduduki keketuaan ASEAN saat ini, harus lebih kuat, lebih bersatu dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan.

Baca juga: Malaysia berkomitmen lindungi kepentingannya di Laut China Selatan

Baca juga: Vietnam protes penenggelaman kapal oleh Beijing di Laut China Selatan


Penyelesaian masalah sengketa berdasarkan legalitas tidak lagi urusan Filipina, Vietnam dan Malaysia sendiri dalam menghadapi China, tetapi masalah ini telah benar-benar menjadi masalah umum dari semua negara anggota. Semua harus bersatu dan kompak di bawah bendera ASEAN menghadapi China. Bukan untuk mempertajam konflik tetapi mencari solusi untuk mengatasi tantangan bersama.

Negara-negara anggota ASEAN dan negara-negara di kawasan dan di luar, melalui forum regional dan internasional seperti KTT ASEAN, EAS, ADMM, ADMM Plus, ARF aktif berkontribusi terhadap proses membangun kepercayaan.

Diplomasi preventif dilakukan untuk meminimalkan risiko bentrok, konflik di laut. Negara-negara di kawasan ini harus secara aktif memberikan insentif untuk bekerja menjaga perdamaian dan stabilitas dan mempromosikan penyelesaian damai sengketa maritim atas dasar hukum internasional.

Mereka harus mendukung pelaksanaan inisiatif kerja sama maritim dan proyek atas dasar kepatuhan dengan hukum dan perjanjian internasional yang bersangkutan, rasa hormat dan harmoni kepentingan para pihak; meningkatkan pertukaran informasi dan tindakan aktif terkoordinasi antara pemerintah, organisasi internasional, para ahli dan ilmuwan di laut dan samudera guna membantu membangun dan menjaga stabilitas, harmoni di kawasan.

Untuk mengatasi sengketa LCS, intinya ialah ada kemauan dari para pemimpin negara-negara yang bersangkutan dengan menemukan pendekatan-pendekatan diplomasi dan langkah-langkah untuk memecahkan perbedaan pendapat, konflik dan perselisihan di LCS. Vietnam dan beberapa negara anggota ASEAN lainnya telah menunjukkan penghormatan pada hukum internasional.

*) Mohammad Anthoni, mantan redaktur senior LKBN ANTARA


Baca juga: Indonesia prihatin atas ketegangan di Laut China Selatan

Baca juga: Pengamat: militer China di LCS siap hadapi provokasi AS pascapandemi

Copyright © ANTARA 2020