skrining dan diagnosis secara massal itulah baru kita akan bisa mendapatkan data yang akurat
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan perlu dibuat segera protokol ringkas dan detail di setiap sektor perekonomian dan kehidupan bangsa agar menyiapkan masyarakat untuk mampu hidup berdampingan dengan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

"Tentu saja kita tidak bisa terus menerus hidup seperti ini jadi pada level tertentu kita harus berkompromi dan hidup bersama dengan virus SARS-CoV-2 itu sampai kelak kalau vaksin ditemukan dan imunisasi massal bisa dilakukan," kata Kepala LIPI Laksana Tri Handoko dalam webinar Teknologi dan Inovasi Indonesia Hadapi Covid 19, Jakarta, Selasa.

Agar aktivitas ekonomi dan aktivitas masyarakat bisa tetap berlanjut, maka diperlukan panduan protokol yang ringkas untuk semua jenis aktivitas, seperti untuk sekolah, rumah sakit, kantor pemerintah baik yang bersifat administratif, pelayanan publik maupun layanan internal, kantor swasta yang bersifat di belakang meja, dan kantor swasta yang bersifat mobile.

"Semua harus dibuat protokol yang baku dan ringkas yang bisa diikuti semuanya dan harus diimplementasikan dengan ketat," tutur Handoko.

Namun, upaya mengaktifkan aktivitas ekonomi masyarakat harus tetap dengan melakukan kontrol dan mitigasi yang terukur. Mitigasi terukur itu hanya bisa dilakukan dengan skrining massal di simpul-simpul mobilitas publik seperti terminal dan bandara.

Baca juga: LPTB LIPI kembangkan masker bisa melemahkan virus corona

Baca juga: Potensi convalesent plasma sembuhkan pasien COVID-19


Dan juga dilakukan dengan diagnosa COVID-19 yang berbasis uji PCR massal khususnya yang harus dilakukan di lokasi kerumunan yang bersifat permanen seperti di rumah sakit, laboratorium, sekolah, kampus, kantor dan industri.

"Dengan melakukan skrining dan diagnosis secara massal itulah baru kita akan bisa mendapatkan data yang akurat, masif dan terukur sehingga kita bisa melakukan strategi kebijakan yang lebih terukur secara ilmiah," tutur Handoko.

Jika dari diagnosis masif dan terukur, ditemukan ada yang positif, maka dilakukan isolasi terhadap orang itu dan keluarganya.

Jika yang positif COVID-19 adalah masyarakat berpenghasilan rendah maka bisa ditetapkan sebagai penerima bantuan sosial (bansos).

"Sehingga tidak seperti saat ini yang mau tidak mau karena tidak ada data, bansos di sebar ke semua orang padahal sampai kapan kita akan mampu melakukan itu sampai berapa bulan, kan tidak jelas pasti," ujarnya.

Handoko menuturkan mereka yang tetap bisa bekerja harus bekerja dalam kerangka protokol yang baru, yakni protokol hidup normal yang baru, untuk tetap menjalankan protokol pencegahan penularan COVID-19.

Pembentukan protokol itu menjadi sangat penting. Dan untuk membuat protokol tersebut, maka perlu tim pakar sehingga bisa membuat kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam skema kehidupan normal baru (new normal), tim pakar dan ahli harus menciptakan rekayasa teknologi dan rekayasa sosial yang mendukung protokol itu, misalnya bagaimana hidup normal kembali untuk anak sekolah baik di tingkat SD, SMP maupun SMA, tentu saja tidak mungkin seperti sediakala.

Protokol di sekolah bisa mencakup berapa jumlah tatap muka di kelas yang diperbolehkan, misalnya dua atau satu kali seminggu, bagaimana sterilisasi peralatan belajar mengajar yang dibawa ke sekolah, bagaimana jaga jarak atau aturan bangku di dalam kelas, bagaimana jaga jarak dalam interaksi guru dan siswa, bagaimana cara meminjam buku di perpustakaan sekolah, dan sebagainya.

Protokol lain juga dibuat agar restoran atau rumah makan bisa tetap beroperasi tapi tetap menerapkan protokol kesehatan, agar orang tetap bisa datang ke kebun raya, tapi diatur jarak, jumlah orang dan sebagainya. Begitu juga dengan sektor-sektor lain, harus ada protokol spesifik dan detail.

Baca juga: LIPI: Ozon Nanomist jadi solusi disinfektan nonkimia

Baca juga: Peneliti: Herd immunity skenario terburuk tangani COVID-19


 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020