Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar lima orang pimpinan KPK secara tegas menyatakan menolak rencana kenaikan gaji pada masa pandemi COVID-19.

"Kami menuntut agar pimpinan KPK menunjukkan sikap dan prinsip yang jelas akan nilai-nilai integritas sesuatu yang selama ini menjadi nilai lebih KPK daripada lembaga lain, dengan menolak secara resmi pembahasan kenaikan gaji pimpinan KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Sebelumnya Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan tim di Sekretariat Jenderal KPK mengikuti rapat dengan tim dari Kementerian Hukum dan HAM melalui video conference pada tanggal 29 Mei 2020 dengan agenda koordinasi penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) soal gaji pimpinan KPK.

Baca juga: ICW kembali kritik adanya pembahasan kenaikan gaji pimpinan KPK

Dalam rapat tersebut dibahas sejumlah hal yaitu RPP tersebut akan menjadi RPP penggantian, draf RPP penggantian belum ada kajian akademis mengenai jumlah besarannya dan kajian akademik akan segera diserahkan kepada Kemenkumham agar bisa ditindaklanjuti dengan permintaan penilaian kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil dan Reformasi Birokrasi.

Meskipun sebelumnya isu ini sempat redup. Namun, kata Kurnia, diam-diam pembahasan soal ini terus berlanjut. Padahal, sebelumnya disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri bahwa seluruh pimpinan KPK telah meminta usulan kenaikan gaji tersebut dibatalkan.

"Akan tetapi, karena pembahasan masih berlanjut, hal ini sangat mungkin terjadi karena pimpinan KPK tidak secara tegas menolak melakukan pembahasan kenaikan gaji mereka secara resmi," katany menandaskan.

Menurut Kurnia, pembahasan kenaikan gaji pimpinan KPK dengan pihak Kemenkunham menimbulkan potensi kuat terjadinya konflik kepentingan.

"Pada situasi seperti itu, pimpinan KPK tidak akan dapat menghitung dan memutuskan secara objektif berapa gaji yang mereka layak dapatkan," kata Kurnia menambahkan.

Kurnia juga menyatakan bahwa kenaikan gaji pimpinan KPK tidak sebanding dengan kinerja KPK saat ini. Apalagi, lembaga survei Indikator melansir tingkat kepercayaan publik pada KPK menurun dari 81,3 persen menjadi 74,3 persen.

"Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri yang sebenarnya minim akan prestasi. Masyarakat terlalu banyak dihadapkan dengan serangkaian kontroversi KPK," ungkap Kurnia.

Alasan penolakan kenaikan gaji lainnya adalah karena Indonesia tengah berada di situasi pelik akibat wabah COVID-19.

Baca juga: BW: Nurhadi jadi "dark prince of unjustice" di Mahkamah Agung

"Semestinya sebagai pejabat publik para pimpinan KPK memahami dan menyadari bahwa penanganan COVID-19 di Indonesia membutuhkan alokasi dana yang luar biasa besar, saat ini bukan waktunya untuk memikirkan diri sendiri dengan permintaan kenaikan gaji tersebut," kata Kurnia menegaskan.

Mengikuti pembahasan aturan gaji pimpinan KPK juga berarti bertolak belakang dengan pesan moral KPK yang selalu menyuarakan untuk menjalankan pola hidup sederhana.

"Kalaupun pimpinan KPK hendak membahas hal tersebut, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, kebijakan itu baru bisa berlaku bagi pimpinan KPK berikutnya," kata Kurnia.

Usulan kenaikan gaji pimpinan KPK adalah sebesar Rp300 juta yang dimunculkan sejak era kepemimpinan KPK 2015—2019.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK, gaji dan tunjangan Ketua KPK mencapai Rp123,9 juta, sedangkan gaji dan tunjangan Wakil Ketua KPK mencapai Rp112,5 juta.

Kelima pimpinan KPK juga dinyatakan tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 karena PPh Pasal 21 itu ditanggung APBN.

Baca juga: KPK klarifikasi adanya pembahasan kenaikan gaji pimpinan KPK

Hal itu tertuang dalam Pasal 6 PP No. 36/2009 tentang Perubahan PP No. 29/2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol dan Perlindungan Kemananan Pimpinan KPK yang menyebutkan, "Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Tunjangan Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) adalah sesuai dengan perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan."

Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 262/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, anggota TNI, Polri dan Pensinannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN atau APBD.

Pasal 2 Ayat (1) PMK tersebut berbunyi: "PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD."

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020