Tingkat pemanfaatan FABA di negara-negara itu sudah cukup tinggi, berkisar antara 44,8 persen – 86 persen
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengusulkan kepada Pemerintah agar Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri dikeluarkan dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

“Sebanyak 16 asosiasi di APINDO sepakat mengusulkan penghapusan FABA, karena berdasarkan hasil uji pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APINDO, Haryadi B. Sukamdani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Ke-16 asosiasi tersebut yaitu GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia), APPI (Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia), IMA (Indonesian Mining Association), GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia), API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), AKIDA (Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia), APOLIN (Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia).

Selanjutnya, APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia), APROBI (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia), GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), INAPLAS (Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia), ASAKI (Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia), APBI-ICMA (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia), AIMMI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia), APSyFI (Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia), dan GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia).

Menurut Haryadi, FABA yang dihasilkan berkisar antara 10 – 15 juta ton/tahun, saat ini masih dikategorikan sebagai limbah B3, dan FABA tercantum pada Tabel 4 Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

"Padahal, dari hasil uji karakteristik dari industri menunjukkan bahwa FABA memenuhi baku mutu/ambang batas persyaratan yang tercantum dalam PP No. 101 Tahun 2014, sehingga dikategorikan sebagai limbah non B3, seperti halnya di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, China, India, Jepang, dan Vietnam," ujarnya.

Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan FABA di Indonesia masih tergolong sangat kecil, yaitu hanya 0 persen – 0,96 persen untuk “fly ash” dan 0,05 persen – 1,98 persen untuk pemanfaatan “bottom ash”.

FABA bisa dimanfaatkan sebagai coneblock, pengganti semen, paving block, maupun campuran untuk konstruksi.

"Pemerintah sering menggaungkan bahwa kegiatan pengelolaan limbah melalui kegiatan pemanfaatan memiliki hierarki yang lebih tinggi dari pada kegiatan pemusnahan dan pengolahan, serta penimbunan," kata Linda.

Di beberapa negara, FABA juga telah dimanfaatkan sebagai material konstruksi seperti untuk campuran semen dalam pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

“Tingkat pemanfaatan FABA di negara-negara itu sudah cukup tinggi, berkisar antara 44,8 persen – 86 persen,” ujar Liana.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan telah diundangkan pada 4 Mei 2020.

Namun, beleid tersebut disusun tanpa melibatkan pelaku kegiatan usaha/industri, sehingga sulit untuk diimplementasikan di lapangan dan juga pengecualian limbah B3 dari Pengelolaan Limbah B3 tidak sesuai dengan tujuan diterbitkannya Permen itu sendiri.

Baca juga: Ganjar minta industri hentikan pembuangan limbah ke Bengawan Solo
Baca juga: Indonesia perlu promosikan industri daur ulang limbah


Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020