Jakarta (ANTARA) - Pembina Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Mukhlis Paeni mengatakan tradisi lisan mau tidak mau harus berubah mengikuti perkembangan zaman.

"Cara bertutur dalam transformasi tradisi lisan mau tak mau harus berubah dan teknologi memungkinkan sebuah media bertutur yang baru digunakan, jangkauannya tidak lagi sebatas lingkup komunitas pendukungnya, tapi melintas benua di panggung global," ujar Mukhlis dalam lokakarya tradisi lisan secara daring di Jakarta, Kamis.

Teknologi visual dapat menjadi instrumen nafas buatan bagi berbagai atraksi ekspresi lisan dan teknologi animasi komputer dengan menggunakan kaidah-kaidah sinematografi yang tepat. "Kita bisa memasuki sebuah era baru bagi penuturan tradisi lisan," katanya.

Baca juga: ATL : Tradisi dan kearifan lokal jadi penjaga moral masyarakat

Dia memberi contoh bagaimana film animasi asal Malaysia, Upin Ipin, yang berjudul Kris Siamang Tunggal yang dipersiapkan sejak 2014 dan baru rampung pada 2019.

Melalui film itu Malaysia ingin memperkenalkan apa arti sebuah keris dalam budaya Melayu untuk anak-anak milenial. Melalui film yang ditampilkan secara canggih itu milenial juga dikenalkan dengan berbagai dongeng dan cerita lisan Melayu, seperti Serangan Ikan Todak, dalam legenda melayu dikenal Singapura diserang Ikan Todak.

"Juga dikenalkan kota legendaris dalam kisah-kisah Melayu Kerajaan Indraloka, dikenalkan tokoh-tokoh Nenek Kebayan, Lebai Malang, Datuk Bendahara, dan banyak lagi," tuturnya.

Ketua Umum ATL, Pudentia mengatakan tradisi lisan memang relatif baru untuk wacana kebudayaan di Indonesia. Selama ini orang lebih terbiasa dengan konsep folklor, sastra lisan, atau berbagai ragam yang termasuk dalam cerita rakyat, seperti dongeng, legenda, dan mitologi.

Baca juga: Penggiat upayakan pelestarian tradisi sastra lisan asli daerah

Baca juga: FBF kenalkan tradisi lisan dan literatur Indonesia


"Anggapan tersebut telah mereduksi kekayaan yang terkandung dalam konsep tradisi lisan yang sebetulnya mencakup berbagai hal, seperti sistem kognitif masyarakat, religi, sejarah lokal, sistem sosial, kearifan, dan pengetahuan tradisional," kata Pudentia.

Akan tetapi, studi multidisiplin untuk memahami tradisi lisan belum terbiasa dilakukan dan fokus kajian sering diartikan lebih banyak ke sarana lisan saja daripada ke substansi sebagai tradisi.

Padahal, sangat penting untuk melihat dengan tepat peran penting tradisi lisan sebagai fenomena sosial budaya dan warisan bangsa dengan pendekatan yang tepat.

Baca juga: Putu Wijaya: Tradisi Lisan di Indonesia Masih Sangat Kuat

"Semua tradisi mengajarkan kebaikan, mampu menjadi penengah, bahkan solusi masalah. ‎Kalau ada yang mengajarkan keburukan, pasti ada yang salah. Itulah mengapa ATL merasa bertanggungjawab untuk melestarikan, yang di dalamnya ada upaya pengembangan. Hal ini juga diamanatkan di dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan," kata Pudentia.

Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020