Isu Pancasila saat ini dijadikan sebagai komoditas politik saja
Depok (ANTARA) - Sekretaris Umum DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GMKI) Sahat Martin Philip Sinurat mengatakan membangun silaturahmi walaupun berbeda pandangan merupakan wujud dari pengamalan Pancasila.

"Pancasila adalah dasar negara yang paling tepat di tengah bangsa yang majemuk. Perlu juga langkah lebih jauh untuk memperkenalkan dan mempromosikan ideologi Pancasila ke dunia internasional," kata Sahat dalam keterangan tertulisnya, Rabu.

Sahat menyampaikannya saat menjadi narasumber webinar tentang "Menjaga Pancasila dari Bahaya Propaganda Komunis, Orde Baru, dan Khilafah".

"Saya tiga kali diundang ke luar negeri, yakni ke Sri Lanka, Mesir, dan China. Dalam tiga kesempatan ini, saya menjelaskan tentang Pancasila kepada para pemuda dari mancanegara. Mereka heran kenapa Indonesia yang majemuk dapat bersatu. Saya menjawabnya, karena Indonesia sepakat pada dasar negara yaitu Pancasila," kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI ini pula.

Sayangnya, lanjut Sahat, isu Pancasila saat ini dijadikan sebagai komoditas politik saja di antara para elite-elite politik dan elemen lainnya. Padahal harusnya semua pihak membicarakan penerapan Pancasila, terkhusus kepada generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alpha.

Terkait hubungan komunikasi antar-elite politik, Sahat mengingatkan tentang para pendiri bangsa yang walau berbeda pendapat bahkan paham ideologi dapat tetap membangun komunikasi yang cair dan baik, sehingga rakyat tidak hanya dipertontonkan dengan tindakan yang saling mengecam tapi melihat bahwa para tokoh bangsa dan elite politik juga tetap membangun silaturahmi walaupun berbeda pandangan.

"Jadi rakyat tidak ikut-ikutan membangun tembok permusuhan. Walaupun berbeda pandangan, kita tetap bersatu dan bersama-sama membangun bangsa. Inilah wujud Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," ujarnya.

Senada dengan Sahat, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto menyatakan pada usia Indonesia yang menginjak 75 tahun, seharusnya elemen bangsa tidak perlu memperdebatkan Pancasila sebagai ideologi.

"Bagi kami Muhammadiyah, dasar negara sudah final. Namun tantangan kita saat ini bagaimana kita membangun negara yang berkemajuan. Maka kita jangan menjebak Pancasila dalam birokrasi Pancasila," katanya lagi.

Menurut Cak Nanto, sapaan akrabnya, Pancasila harus masuk dalam ruang budaya dan sosial di masyarakat. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi karakter kebudayaan bangsa Indonesia.

"Pancasila harus masuk dalam karakter kebudayaan dan semua pembelajaran-pembelajaran di segala lini. Kita harus mulai melihat kedaulatan dan kemajuan serta sudahi segala diskursus tentang Pancasila, jika tidak kita akan terlena dan bangsa kita dikuasai oleh orang lain," kata Cak Nanto.
Baca juga: Hasto: Ributnya kelompok anti Pancasila tak terlepas dari geopolitik


Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, sebagai pembicara terakhir melihat adanya keresahan akibat kurangnya politik keterwakilan yang tidak representatif.

"Saat ini kita kehilangan semangat Pancasila dalam perbedaan pandangan. Padahal dulu para pendahulu kita telah mencontohkan implementasi Pancasila pada kehidupan nyata perpolitikan kita," katanya pula.

Usman mengingatkan, di masa awal kemerdekaan, Soekarno dapat tetap berkomunikasi akrab dengan pendiri bangsa lainnya walaupun berbeda pandangan.

"Kita terbawa suasana masa lalu dimana dalam beberapa momen terjadi pertentangan di antara kelompok atau pun partai. Seharusnya saat ini kita mengupayakan, bagaimana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya lagi.

Dalam webinar itu, juga dihadiri oleh Ketua Umum Jamiyyah Qurro’wal Huffadh (JQH) Nahdlatul Ulama Saifullah Maksum, Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan Bursah Zarnubi, dan Bendahara Umum KNPI yang juga mantan Ketua Umum DPP GMNI Twedy Noviady Ginting.
Baca juga: HNW dapat banyak pertanyaan terkait RUU HIP-BPIP
Baca juga: Bamsoet ajak generasi muda sikapi era disrupsi dengan bijak

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020