Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi dinilai bersikap tidak konsisten dalam memeriksa beberapa pengujian undang-undang yang terkait dengan lembaga yudikatif itu.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda dalam diskusi daring, Senin, mengatakan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pragmatis untuk kepentingan lembaga itu.

Baca juga: RUU MK disahkan DPR menjadi Undang-Undang

"MK tidak bersikap secara konsisten kemudian seringkali menimbulkan paradoks dan juga ada anomali-anomali yang hadir dalam putusannya" ujar Violla.

Ia mencontohkan MK tidak setuju dengan pengajuan calon hakim konstitusi harus melalui panel ahli bentukan Komisi Yudisial dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tetapi MK beralasan hal itu mengurangi kewenangan lembaga pengaju calon hakim konstitusi, yakni presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

Baca juga: Yasonna: UU MK jadi dasar yuridis tetapkan syarat Hakim Konstitusi

Selain itu, Violla menyebut MK juga sering memberikan tafsiran baru dan mengabulkan permohonan yang materinya termasuk kebijakan yang dibuat pembentuk undang-undang, misalnya dalam putusan Nomor 7/PUU-XI/2013.

Dalam putusan itu, MK mengabulkan pembatasan usia hakim konstitusi setidak-tidaknya 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan pertama.

Baca juga: Mantan hakim MK nilai revisi UU MK barter politik

KoDe Inisiatif juga mencatat MK mempunyai pertimbangan hukum untuk kepentingan konstitusional yang lebih luas dalam memutus perkara terkait dirinya, misalnya dalam putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 yang diajukan di antaranya Saldi Isra dan Arief Hidayat yang kini menjabat sebagai hakim konstitusi.

KoDe Inisiatif berencana mengajukan pengujian revisi UU MK yang baru disahkan karena menilai pengesahan RUU MK sarat kepentingan politik dan menunjukkan kemunduran dalam berkonstitusi.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020