Jakarta (ANTARA News) - Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil menyatakan jerat pidana terhadap pelaku nikah siri bertentangan dengan syariah. Dan sesuai syariah Islam, persyaratan nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi, tanpa ada ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah.

"Syarat ini dibenarkan semua mazhab dalam Islam, mulai mazhab Imam Syafi`i, Hanafi sampai Hambali," kata Mutawakkil.

KH Mutawakkil khawatir jika RUU ini disahkan menjadi UU, maka akan menuai protes luar biasa dari masyarakat, serta menimbulkan azab besar. Azab besar datang karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.

Tentang nikah kontrak, KH Mutawakkil memandang, keabsahannya masih diperdebatkan ulama jika batas waktu kontrak tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Namun jika batas waktu itu disebutkan, maka sesuai mazhab Syafi`i, pernikahan itu tidak sah.

Dia juga tidak menyetujui ancaman pidana terhadap pelaku poligami yang tidak melalui izin pengadilan. Alasannya, poligami adalah salah satu cara menghindari perzinahan.

"Bukan berarti saya mendukung poligami, saya hanya membela syariah agama. RUU ini mempersulit umat Islam. Saya khawatir hal itu malah mendorong seseorang melakukan perbuatan zina. Biarkan umat Islam melakukan secara bebas syariatnya. Tolong jangan campur tangan pada amaliah syariah yang bersifat personal," katanya.

Menyangkut hukum agama, Mutawakkil mengajak semua pihak untuk memperhatikan secara ilmiah dan amaliah. Maksudnya, bagaimana sudut keilmuan dan kebutuhan masyarakat, bisa membenarkan praktik itu. "Jangan membuat UU yang hanya mempertimbangkan sisi amaliah saja," ingatnya.

Sementara, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Universitas Airlangga, Surabaya, Dr Emy Susanti Hendrarso MA menilai, semangat RUU ini adalah demi melindungi perempuan supaya tidak masuk ke perkawinan bermasalah.

Namun, lanjutnya, jangan sampai ketika nanti disahkan, aturan ini malah menjadi bumerang bagi perempuan. Artinya, harus ada pengecualian bagi pelaku nikah siri dengan alasan tidak punya uang (miskin) atau karena budaya.

"Dari para peserta perkawinan massal yang diadakan instansi-instansi, sering diperoleh informasi bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinannya selama ini karena miskin, tidak punya uang. Karena itu, terkait budaya dan kemiskinan, harus ada tafsir sendiri untuk nikah siri," kata Emy.

Jangan sampai niat melindungi perempuan seperti diupayakan RUU ini, malah nanti mengancam perempuan jika akhirnya yang jadi korban dari sanksi tetap saja perempuan. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi dan bahasan sisi sosiologis terhadap draf RUU ini. "Mungkin perlu juga proyek percontohan dulu," Emy menambahkan.

Banyak kalangan menyatakan tidak bersetuju dengan ancaman pidana dalam nikah siri dan poligami, karena bertentangan dengan Alquran.

Alquran sendiri tidak menjelaskan kewajiban untuk mencatatkan poligami ke instansi negara, sehingga jika RUU itu menegaskan sanksi pidana, maka jelas hukum itu menabrak hukum Alquran.

Ada pria menjalani poligami tanpa meminta izin pengadilan karena sudah cukup baginya izin dari istri pertama. Dasarnya, adalah Alquran.

Selain itu, Islam mengharuskan umatnya taat kepada Allah dan Rasul. Rasul sendiri berpoligami, berarti aturan agama memperbolehkan menikahi lebih dari satu perempuan. Jadi, ketentuan sanksi pidana karena poligami, menyalahi aturan agam.

Sejumlah kalangan mengharapkan pemerintah tidak berkutat mengurusi wacana pemidanaan pelaku nikah siri atau poligami, sebaliknya mesti lebih memperhatikan masalah kependudukan yang lain, misalnya aturan pencatatan KSK (Kartu Susunan Keluarga) untuk pelaku poligami.

Selama ini, hanya di KSK istri pertama yang tercantum nama suami. KSK di istri kedua, tidak tercantum nama suami. "Ini yang harus diatur agar masalah kependudukan lebih tertib," pinta Wakil Ketua DPRD Surabaya ini.

Sebaliknya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mendukung wacana pelarangan pernikahan siri agar tidak ada korban akibat pernikahan jenis itu.

"Saya setuju bila pelaku pernikahan siri dipidanakan karena bisa membuat anak-anak telantar dan istri pertama tidak mau mengakuinya," katanya.

Apalagi, kata dia, suami biasanya melakukan pernikahan siri, lebih sering bermuatkan hasrat seksual. Oleh karena itu, Mahfud melihat pelarangan nikah siri tidak melanggar ketentuan agama karena menyangkut ini penafsiran Islam sendiri beragam.

Tetapi, menyangkut perbedaan tafsir ini, jika Mahfud disuruh memilih antara keduanya, maka dia akan memilih menyetujui tafsir yang sepakat bahwa pernikahan siri harus diatur UU.

Pemihakannya ini karena karena UU bisa mengatur sanksi tegas kepada berbagai pihak yang melanggar ketentuan dalam UU itu.

Pandangan Ketua MK ini selaras dengan penilaian Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa yang menyetujui sanksi pidana terhadap pelaku pernikahan siri dan pernikahan kontrak.

Pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu`min di Ngruki, Sukoharjo, Jateng Ustadz Abu Bakar Ba`asyir sendiri pernah mengatakan, praktik kawin siri atau nikah "di bawah tangan", hendaknya dihentikan, karena dapat menimbulkan fitnah dan merugikan kedua fihak di kemudian hari.

"Sebaiknya praktik nikah siri hendaknya dihapus saja. Nikah siri atau nikah di bawah tangan dan tak tercatat di Kantor Urusan Agama (KAU) belakangan ini dianggap sah menurut agama. Hal demikian dapat menimbulkan fitnah," kata Ba'asyir.

Dia mengatakan, pelaku nikah siri menempuh cara itu karena pernikahannya tak ingin diketahui orang banyak, padahal dalam pernikahan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, antara lain diketahui orang banyak.

Ia mengatakan, jika seseorang berani nikah, mengapa takut diketahui banyak orang. "Itu namanya pengecut. Pemerintah segeralah mengambil peran agar nikah siri atau perkawinan di bawah tangan segera dihentikan," katanya.

Namun, perihal Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama (RUU HMPA) yang memasukkan semua bentuk perkawinan didaftarkan ke KUA, Ba'asyir menegaskan ketidaksetujuannya.

"Bukan soal didaftar atau tidak, itu karena Alquran tak memerintahkan demikian. Jika seseorang hendak berpoligami, maka hendaknya yang bersangkutan punya itikad baik, yaitu bersikap adil kepada isteri-isterinya," kata Ba`asyir.

Dia juga tidak menyetujui ide, pria perlu memeperoleh izin peradilan agama jika akan menambah isteri. "Ini tak perlu. Cukup dari isteri, dengan ketentuan yang bersangkutan sanggup bersikap adil dalam pengertian lahiriah," katanya.

"Jika seorang tak berani adil kepada isterinya, maka sebaiknya tak usah nikah lebih dari satu kali," katanya.

Pada bagian lain, Ba`asyir mengemukakan kesetujuannya pada RUU HMPA yang mensyaratkan orang asing memberikan jaminan berupa bank garansi, jika hendak menikahi perempuan Indonesia.

"Dengan cara itu wanita Indonesia tak diperlakukan seenaknya," kata Ba`asyir.

Pandangan Ba'asyir sejurusan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyatakan, jika praktik nikah siri hendak diberi sanksi maka cukup bersifat administratif, tidak perlu pidana.

"Upaya untuk memberi sanksi pidana pada pelaku nikah siri sebaiknya tidak dilakukan, cukup sanksi administratif," kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.

Hasyim mengatakan, dalam urusan perkawinan, aturan negara berada dalam konteks administrasi kewarganegaraan sehingga kalaupun hendak diterapkan sanksi, maka yang masuk akal adalah sanksi administratif.

"Ini kan dalam konteks sebagai warga negara yang ada kaitannya dengan administrasi," katanya.

Sebenarnya, lanjut Hasyim, ditinjau dari sisi agama, pencatatan administratif perkawinan juga sangat penting, terutama berkaitan dengan nasib wanita dan anak-anak hasil perkawinan lebih dari seorang (poligami).

"Jangan sampai nantinya terjadi anak sama anak dari istri yang lain pacaran karena tidak tahu masih satu keluarga," katanya.

Demikian pula perempuan yang bersuamikan pegawai negeri sipil (PNS). Jika perkawinannya tidak dicatatkan, maka dia dan anak-anaknya tak akan mendapatkan hak pensiun dan hak lain yang semestinya diterima dari suaminya.

Hasyim juga mengajak persoalan nikah siri ini mesti dilihat dari aspek kultural.

Ia mencontohkan banyak perempuan di Madura yang tak mempermasalahkan dirinya menjadi istri kedua atau ketiga dari seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama.

"Wanita di sana mengantri untuk dinikah siri. Itu kan sudah menyangkut budaya," katanya. (*)
E001/T010/AR09

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010