New York (ANTARA) - Harga minyak jatuh di atas tiga persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), saat meningkatnya kasus virus corona di seluruh dunia mengurangi prospek permintaan, dan kenaikan produksi OPEC bulan lalu juga menambah tekanan terhadap harga.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember merosot 1,37 dolar AS atau 3,2 persen, menjadi menetap di 40,93 dolar AS per barel setelah turun ke level terendah 39,92 dolar AS.

Sementara itu, minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), berakhir jatuh 1,50 dolar AS atau 3,7 persen menjadi 38,72 dolar AS setelah tergelincir lebih dari enam persen ke terendah sesi 37,61 dolar AS per barel.

Baca juga: Minyak Brent pangkas kerugian, minyak AS naik dipicu harapan stimulus

"Telah terbukti bahwa virus tersebut belum dapat dibendung. Tingkat infeksi meningkat, angka kematian global telah melampaui angka satu juta dan dunia kembali menjadi tempat yang suram," kata analis PVM Oil, Tamas Varga.

Di Amerika Serikat saja, pandemi telah menginfeksi lebih dari 7,2 juta dan membunuh lebih dari 206.000 orang.

Hot spot COVID-19 terburuk di Eropa, Madrid, akan diisolasi dalam beberapa hari mendatang dan wali kota Moskow memerintahkan pemberi kerja untuk mengirim setidaknya 30 persen staf mereka pulang, ketika beberapa negara Eropa melaporkan catatan infeksi baru.

Analis Standard Chartered mengatakan mereka sekarang memperkirakan permintaan global turun 9,03 juta barel per hari pada 2020 dan pulih 5,57 juta barel per hari pada 2021, meninggalkan rata-rata 2021 sedikit di bawah rata-rata 2016.

Baca juga: Harga minyak menguat didorong harapan atas stimulus ekonomi AS

"Perdagangan hari ini mengirimkan beberapa getaran bearish yang kuat mengingat aksi jual di seluruh kompleks energi yang berkembang, meskipun ada peningkatan signifikan dalam selera risiko dan melemahnya dolar AS," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates.

Peningkatan pasokan minyak dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga membebani pasar, dengan produksi pada September naik 160.000 barel per hari (bph) dari Agustus, survei Reuters menemukan.

Peningkatan tersebut sebagian besar didukung oleh kenaikan pasokan dari Libya dan Iran, keduanya dibebaskan dari pakta pasokan minyak antara OPEC dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+.

Produksi minyak Libya telah meningkat menjadi 270.000 barel per hari karena anggota OPEC itu meningkatkan aktivitas ekspor menyusul pelonggaran blokade oleh pasukan timur, sumber minyak Libya mengatakan kepada Reuters, Kamis (1/10/2020).

“Barel baru Libya, dan laporan bahwa Rusia telah memproduksi secara berlebihan, mengalami kenaikan di awal minggu. Laporan hari ini bahwa Arab Saudi telah meningkatkan ekspor pada September sebesar 500.000 barel per hari tampaknya menjadi yang terakhir,” kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho.

Anggota OPEC mengirimkan 18,2 juta barel per hari pada September, naik dari 17,53 juta barel per hari yang diekspor pada Agustus, data dari IHS Markit Commodities at Sea menunjukkan, dengan ekspor Arab Saudi kembali ke tingkat di atas 6,25 juta barel per hari.

Di awal sesi, harga mendapat jeda dari kemajuan dalam pembicaraan AS tentang paket stimulus untuk ekonomi terbesar dunia tersebut.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengusulkan paket stimulus baru senilai lebih dari 1,5 triliun dolar AS.

Namun, Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin masih jauh dari kesepakatan tentang bantuan COVID-19 di beberapa bidang penting pada Kamis (1/10/2020), setelah diskusi telepon gagal menjembatani apa yang digambarkan Pelosi sebagai perbedaan atas dolar dan nilai. Kongres Demokrat yang dipimpin oleh Pelosi telah mengusulkan paket 2,2 triliun dolar AS untuk menanggapi pandemi.

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020