Tidak menjadi rancu apabila MPR juga memiliki badan/mahkamah kehormatan yang selain bertugas mengadili atas dugaan pelanggaran etik, tapi juga melakukan pembelaan sesuai kode etik yang ada atas berbagai tuduhan, tudingan atau fitnah pelanggaran etik
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan Rapat Gabungan Pimpinan pada Selasa mematangkan pembentukan Mahkamah Kehormatan Majelis dan saat ini tahapan pembentukannya sudah di setujui dan disepakati, tinggal pematangan-nya diharapkan bisa segera selesai dalam waktu dekat.

Menurut dia, walaupun DPR RI dan DPD RI secara kelembagaan telah memiliki badan/mahkamah kehormatan untuk menegakkan kode etik bagi masing-masing anggotanya, tidak menjadi rancu apabila MPR RI juga memiliki badan/mahkamah kehormatan.

"Tidak menjadi rancu apabila MPR juga memiliki badan/mahkamah kehormatan yang selain bertugas mengadili atas dugaan pelanggaran etik, tapi juga melakukan pembelaan sesuai kode etik yang ada atas berbagai tuduhan, tudingan atau fitnah pelanggaran etik terhadap anggota," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta.

Baca juga: Syarief Hasan pertanyakan pimpinan DPR percepat paripurna UU Ciptaker

Baca juga: MPR ajak seniman jadi pelopor pengamalan Empat Pilar


Hal itu dikatakan Bamsoet usai memimpin Rapat Gabungan Pimpinan MPR RI dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok DPD, di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Jakarta.

Dia mengatakan karena masing-masing lembaga memiliki pedoman dan tata kerja yang berbeda, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik lembaga.

Menurut dia melalui penegakan kode etik dari ketiga lembaga tersebut justru akan memperkuat harkat dan martabat anggota perwakilan dalam lembaga MPR, DPR, dan DPD sebagai pengemban amanat rakyat.

Dia menjelaskan, sebelum membentuk Mahkamah Kehormatan Majelis, MPR RI terlebih dahulu akan memutakhirkan Kode Etik MPR RI yang terakhir diterbitkan pada tahun 2010 karena adanya perkembangan tugas dan alat kelengkapan MPR RI saat ini yang berbeda dengan MPR RI periode 2009-2014 pada saat peraturan Kode Etik tersebut diputuskan.

"Selain itu, Rapat Gabungan juga memutuskan menambah jumlah personel Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI (K3 MPR RI) dari semula 45 orang menjadi 55 orang yang terdiri dari pakar ketatanegaraan maupun mantan anggota MPR RI. Jumlah pimpinannya pun ditambah, dari semula 1 Ketua dengan 4 Wakil Ketua menjadi 1 Ketua dengan 5 Wakil Ketua dari kelompok DPD RI," ujarnya.

Dia menjelaskan, penambahan tersebut didasarkan pada tugas berat yang akan di emban K3 MPR RI, khususnya dalam mengkaji dan merumuskan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan, salah satunya menyangkut urgensi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai peta jalan pembangunan nasional.

Menurut dia, selain PPHN, K3 MPR RI juga punya tugas berat lainnya seperti mengevaluasi status hukum/keberlakuan Ketetapan MPR/MPRS yang masih berlaku, khususnya yang diatur dalam Pasal 4 Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003, menyusun kajian/telaah BAB I, BAB II, dan BAB III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membantu MPR RI menata sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara, penataan kekuasaan kehakiman, maupun pelaksanaan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, sebagaimana rekomendasi MPR RI 2014-2019 kepada MPR RI 2019-2024.

Baca juga: Bamsoet ingatkan mahasiswa perlunya merawat kebhinnekaan

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020