kemampuan ekonomi yang rendah menjadi penyebab stress pada orang tua
Jakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University Yulina Eva Riany mengatakan kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi COVID-19 karena rasa bosan, jenuh dan penat akibat aktivitas yang lebih banyak harus dilakukan di rumah.

"Penelitian menunjukkan mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Tekanan sosial ekonomi seperti terlilit hutang dan kemampuan ekonomi yang rendah menjadi penyebab stres pada orang tua," kata Yulina melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.

Yulina mengatakan perubahan kondisi finansial keluarga akibat pandemi COVID-19 akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang dapat berdampak fatal pada anak. Anak menjadi korban ledakan emosi orang tua sebagai pihak terdekat dan kecil kemungkinannya melakukan perlawanan balik.

Ekspresi amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orang tua terhadap anak, apalagi ditambah dengan pengetahuan terhadap strategi pengasuhan anak yang rendah dan kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dengan orang tua.

"Contohnya kasus pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap anak perempuan kandungnya yang masih kelas I SD di Tangerang. Ibu itu tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang masih enam tahun karena jengkel sang anak tidak mampu menguasai pembelajaran daring. Tentu hal itu merupakan fenomena gunung es yang terjadi di masyarakat," tuturnya.

Baca juga: Kekerasan pada anak meningkat, Mensos berkomitmen perkuat sinergi

Baca juga: Kak Seto sebut kekerasan pada anak meningkat saat pandemi

Baca juga: Selama pandemi, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menurun

Data dari berbagai pihak menunjukkan kekerasan anak di beberapa daerag meningkat tajam selama pandemi COVID-19. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Nusa Tenggara Barat menunjukkan kekerasan terhadap anak di provinsi tersebut meningkat 12 persen selama pandemi COVID-19.

Sementara itu, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan kekerasan terhadap anak mencapai 5.697 kasus dengan 5.315 korban sepanjang 1 Januari 2020 hingga 23 September 2020.

"Mayoritas anak mengalami kekerasan selama belajar daring di rumah. Keterbatasan ekonomi keluarga untuk membiaya pembelajaran daring anak menjadi salah satu sebab orang tua lebih mudah terpancing amarahnya saat anak tidak mampu menguasai proses pembelajaran jarak jauh di rumah," jelasnya.

Yulina mengatakan perlu upaya strategis dalam menguatkan fungsi dan peran keluarga dalam proses pendampingan anak selama berkegiatan di rumah. Kapasitas keluarga perlu diperkuat terutama fungsi keluarga dalam mendampingi anak selama pandemi COVID-19.

"Meskipun tidak mudah, dengan upaya maksimal dan kerja sama sedini mungkin dan memperkokoh peran serta sekolah, keluarga, dan masyarakat, seharusnya kita mampu bersama-sama mengatasi kasus kekerasan terhadap anak selama pandemi COVID-19," katanya.

Baca juga: KPAI: Kondisi psikologi ortu berdampak pada kekerasan terhadap anak

Baca juga: KPPPA: Gereja Ramah Anak dukung pencegahan kekerasan terhadap anak

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020