Pandemi Flu Spanyol mengajarkan pemulihan bisa terjadi ketika masyarakat memiliki literasi yang memadai dan secara disiplin melaksanakan protokol kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berlalu dan hilang dari muka bumi, seiring dengan jumlah korban virus yang terus bertambah setiap harinya.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah resmi kasus virus corona global sekarang lebih dari lima kali lipat jumlah penyakit influenza parah yang tercatat setiap tahun.

Hingga 19 Oktober 2020, jumlah kasus sudah mencapai 40 juta jiwa, dengan angka kematian sebesar 1,2 juta orang, yang sebagian besar terjadi di AS, Brasil dan India.

Untuk itu, fokus utama dunia internasional saat ini adalah saling berlomba-lomba untuk menggencarkan pengembangan maupun pemasaran vaksin.

Situasi ini selalu menimbulkan harapan bahwa virus akan hilang, seiring kabar perkembangan positif setiap harinya dari penemuan zat kekebalan tubuh tersebut.

Selain itu, upaya pelaksanaan protokol kesehatan dengan menerapkan "3 M" juga terus dilakukan dengan mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak untuk mencegah penularan virus.

Di Indonesia, tercatat kasus COVID-19 telah mencapai 368.613 dengan sebanyak 289.243 orang sembuh dan 12.617 meninggal hingga 19 Oktober 2020.

Sebelum adanya pandemi ini, wabah serupa pernah melanda dunia, yang waktu itu belum sepenuhnya pulih dari Perang Dunia I, termasuk Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka), yaitu Flu Spanyol pada 1918.



Baca juga: Dosen IPB: Atasi resesi ekonomi dari penyebabnya pandemi COVID-19


Jumlah korban dari penyakit mematikan yang disebabkan virus tipe A sub-type H1N1 ini diperkirakan mencapai 21,5 juta hingga 50 juta jiwa di seluruh dunia.

Di negeri tropis jajahan Belanda, setidaknya sebanyak 1,5 juta orang meninggal, dari pandemi yang datang dalam dua gelombang yaitu Juli-September 1918 serta Oktober-Desember 1918.

Flu Spanyol yang diduga berasal dari Kansas, AS ini menyebar pesat melalui mobilisasi tentara serta penduduk yang bermigrasi ke seluruh dunia, termasuk ke wilayah nusantara.

Menurut catatan Burgerlijken Geneeskundingen Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Hindia Belanda, pandemi itu terjadi hampir di seluruh wilayah selama dua tahun atau hingga Desember 1920.

Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam menilai kondisi saat terjadinya Flu Spanyol hampir serupa dengan situasi pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 ini.

Menurut dia, penanganan yang lamban terlihat hampir di seluruh negara ketika awal-awal wabah itu terjadi, karena menganggap penyakit tersebut merupakan flu yang tidak berbahaya.

Di Hindia Belanda, kondisi itu makin diperparah oleh adanya perbedaan sudut pandang antara pemerintah kolonial dengan masyarakat dalam menanggapi wabah ini.

Pemerintah kolonial melihat sumber penularan berasal dari luar, yaitu orang-orang pendatang yang menjadi pembawa virus. Namun masyarakat memandang penyakit tersebut bersumber dari alam seperti debu, angin dan lain-lain.



Baca juga: Sri Mulyani: Revisi proyeksi IMF dan OECD tunjukkan ada pemulihan


Pada waktu itu, Jawa termasuk menjadi salah satu episentrum wabah karena jumlah penduduk di daerah ini sangat padat dan pengusaha tetap memaksa adanya perdagangan melalui jalur laut.

Kemudian, pemerintah kolonial rutin melakukan sosialisasi secara keliling dan mengimbau kepada warga untuk memakai masker, menjaga kebersihan serta membatasi pergerakan dengan tinggal di rumah.

Salah satu sosialisasi itu melalui penerbitan buku penanganan wabah dengan menggunakan huruf Hanacaraka serta memanfaatkan tokoh-tokoh pewayangan agar edukasi berjalan dengan optimal kepada masyarakat.

Meski terlambat, pemerintah kolonial juga mengeluarkan protokol resmi atau Influenza Ordonantie pada 1920 yang mengatur hukuman bagi warga yang melanggar protokol, peraturan turun naik penumpang dan angkut barang di pelabuhan.

Dari sisi ekonomi, masalah kesehatan global itu menyebabkan terjadinya resesi karena aktivitas ekonomi tiba-tiba terhenti seiring dengan turunnya produksi dan berkurangnya lapangan kerja.

Di masa itu, kegiatan industri dan jasa maupun bisnis hiburan sempat mengalami kerugian. Meski demikian, ketika pandemi mulai terkendali, sektor kesehatan tercatat mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Resesi modern

Sejarah itu kembali berulang di era modern, karena virus corona tidak hanya menimbulkan persoalan kesehatan serius, tetapi juga melahirkan masalah terhadap kegiatan ekonomi.

Terbatasnya aktivitas ekonomi akibat lockdown di berbagai wilayah, untuk mencegah penyebaran virus, telah membatasi pergerakan barang maupun jasa dan menekan permintaan masyarakat dalam masa-masa yang sulit ini.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global masih terkontraksi 4,4 persen pada 2020 dalam Laporan Proyeksi Ekonomi Global (WEO) pada Oktober 2020, atau sedikit lebih baik dari perkiraan Juni sebesar minus 5,2 persen.

Khusus Indonesia, IMF memperkirakan ekonomi tanah air di akhir 2020 akan terkontraksi 1,5 persen atau merupakan perkiraan yang wajar mengingat konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih.

Di Indonesia, tanda-tanda perlambatan sudah terlihat pada triwulan I-2020 ketika wabah mulai masuk pada Maret. Permintaan yang lesu bahkan menyebabkan terjadinya inflasi tipis pada April-Juni.

Padahal dalam periode terjadinya Ramadhan dan Lebaran biasanya terjadi laju inflasi tinggi seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat pada momen spesial tersebut.

Kondisi itu menyebabkan ekonomi tidak bergerak dan terkontraksi 5,32 persen pada triwulan II-2020 dan deflasi terjadi selama tiga bulan berturut-turut yaitu Juli hingga September 2020 untuk pertama kalinya sejak 1999.


Baca juga: Ekonom : Masyarakat menengah bawah paling terdampak resesi


Untuk memperkuat daya tahan industri dan daya beli masyarakat, pemerintah membuat kebijakan untuk menghidupkan kembali ekonomi dengan memperlebar defisit anggaran hingga 6,34 persen terhadap PDB atau sekitar Rp1.039,2 triliun.

Dari pembiayaan tersebut, sebanyak Rp695,2 triliun dimanfaatkan untuk penanganan COVID-19 dengan beberapa fokus utama adalah penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat miskin, penguatan UMKM serta pemberian insentif bagi industri.

Hingga 14 Oktober 2020, ongkos penanganan COVID-19 sudah menghabiskan dana sebesar Rp344,11 triliun atau sekitar 49,5 persen dari Rp695,2 triliun.

Tahun depan, pemerintah juga memberikan stimulus fiskal dengan menetapkan defisit anggaran 5,7 persen terhadap PDB atau sekitar Rp1.006,4 triliun. Tidak sebanyak 2020, dengan harapan kondisi perekonomian mulai membaik pada 2021.

Berbagai stimulus fiskal ini berjalan seiring dengan kebijakan moneter atau berbagai pelonggaran lainnya yang dikoordinasikan bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).


Baca juga: Corona dan ekonomi dunia yang merana

Dalam Pertemuan G20, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan stimulus harus terus diberikan karena perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian yang tinggi meski telah terdapat tanda-tanda pemulihan secara bertahap.

Komitmen ini dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat, memastikan ketersediaan lapangan kerja, pemulihan ekonomi, dan ketahanan sistem keuangan dengan secara hati-hati dalam mengelola potensi risiko terhadap penurunan ekonomi.

Meski sudah melakukan berbagai upaya penanganan melalui sisi fiskal maupun moneter, ketersediaan maupun akses kepada vaksin dan melaksanakan protokol kesehatan secara konsisten merupakan kunci utama dalam pengendalian wabah.

Pandemi Flu Spanyol bahkan mengajarkan pemulihan bisa terjadi ketika masyarakat memiliki literasi yang memadai dan secara disiplin melaksanakan protokol kesehatan serta membatasi pergerakan.

Resep sederhana ini seharusnya bisa mempercepat pemulihan kesehatan dan kegiatan ekonomi agar kita bisa bermimpi untuk hidup normal kembali setelah berbulan-bulan berada dalam jurang ketidakpastian.



Baca juga: Wabah di Hindia Belanda dorong nasionalisme pribumi

Baca juga: Ikhtiar melepas belenggu virus corona

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020