Dari sisi biaya energi menjadi lebih murah, sehingga menambah daya saing produk baja nasional
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pelaku industri menyambut penurunan harga gas yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Betapa tidak ramai disambut, harga gas untuk industri mengalami peningkatan sejak 2006, di mana pada 2012-2013 harga hulu gas naik 1,08 dolar AS per Million British Thermal Units (MMBTU) dan harga gas industri naik 1,86 dolar AS per MMBTU. Setelah itu, harga gas tak pernah turun lagi.

Per April 2020 harga gas di plant gate konsumen ditetapkan maksimal 6 dolar AS per MMBTU dari harga sebelumnya 7-10 dolar per MMBTU. Harga yang membawa angin segar bagi pelaku industri nasional, khususnya tujuh sektor industri yang mendapatkannya, yakni industri baja, pupuk, kaca, sarung tangan karet, keramik, petrokimia, dan oleokimia.

Tujuh sektor industri tersebut dipilih mengingat kebutuhan akan gas dalam proses produksi menjadi mayoritas, yakni sebagian menggunakannya sebagai bahan baku dan sebagian lainnya sebagai bahan bakar.

Baca juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf, Pemerintah ambil risiko turunkan gas industri

Pembahasan penurunan harga gas industri mengalami jalan berliku. Pasalnya, Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kali pertama masa pemerintahannya, belum berhasil menekan harga.

Memasuki masa jabatan kedua, Presiden Jokowi mengangkat sejumlah menteri baru terkait penurunan harga gas, salah satunya Agus Gumiwang Kartasasmita yang menduduki posisi Menteri Perindustrian.

Penurunan harga gas industri menjadi salah satu fokus Agus sejak serah terima jabatan dari Menteri Perindustrian sebelumnya Airlangga Hartarto.

Untuk itu Agus berinisiatif mengajukan tiga skenario penurunan harga gas untuk kebutuhan industri kepada Presiden Jokowi. Inisiatif yang disampaikan langsung Menperin kepada Presiden pada Januari 2020 itu merupakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh menteri sebelumnya.

Adapun tiga skenario tersebut yakni pertama, pengurangan porsi pemerintah dari hasil kegiatan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), kedua KKKS diwajibkan memasok gas untuk Domestic Market Obligation (DMO), dan terakhir swasta diberikan kemudahan importasi gas untuk pengembangan kawasan-kawasan industri yang belum ada jaringan gas nasional.

Baca juga: Pupuk Indonesia ungkap masih ada kontrak harga gas di atas 6 dolar AS

Satu bulan kemudian, Presiden Jokowi mendesak jajarannya untuk segera merealisasikan penurunan harga industri. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan bahwa implementasi harga gas industri akan diumumkan pada Maret 2020.

Pertengahan Maret Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto kemudian mengumumkan bahwa harga gas 6 dolar per MMBTU akan mulai didapatkan tujuh industri mulai 1 April 2020, dengan memilih skenario mengurangi jatah pemerintah dari hasil K3S.

Sayangnya, jadwal tersebut harus mundur hingga pertengahan 14 April 2020, bertepatan dengan terbitnya Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono menyampaikan penurunan harga gas industri membantu dalam kelangsungan industri petrokimia, di mana harga gas ini menurunkan harga jual produk sekitar 2 dolar AS per ton sehingga mampu bersaing terhadap produk impor, terutama dari luar Asean.

Selain itu Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) Bonar Sirait menyampaikan di tengah pandemi COVID-19 di mana terjadi kondisi yang luar biasa dan force majeure bagi seluruh industri, kebijakan turunnya harga gas akan membuat industri dapat nafas baru.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan terbitnya kebijakan penurunan harga gas industri akan diapresiasi setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih banyak dari sektor industri pengguna gas bumi. Sebab, daya saing mereka sangat bergantung pada keekonomian energi gas bumi.

Baca juga: Harga gas turun, Krakatau Steel optimis produk baja kian kompetitif

Pada Oktober 2020 Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim menyampaikan bahwa daya saing industri baja meningkat pasca-penurunan harga gas industri.

"Dari sisi biaya energi menjadi lebih murah, sehingga menambah daya saing produk baja nasional, " kata Silmy saat dihubungi Antara.

Kendati demikian Silmy menyampaikan bahwa utilisasi industri baja saat ini belum dapat dihubungkan dengan penurunan harga gas industri, karena masih terdampak COVID-19.

Hal berbeda terjadi pada industri keramik, di mana berdasarkan keterangan dari Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non-Logam Kemenperin Adie Rochmanto Pandiangan, utilitas industri keramik meningkat hingga 60 persen dari sebelumnya 45 persen pasca-penurunan harga gas industri.

Keputusan pemangkasan harga gas industri yang melalui proses berliku menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap dunia industri yang berkontribusi paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yakni mencapai 19,87 persen pada kuartal II/2020.

Satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin nampaknya berhasil melakukan terobosan yang penuh perhitungan guna mendongkrak kinerja industri strategis yang menggunakan gas di dalam negeri.

Dengan demikian penurunan harga gas diharapkan daya saing industri nasional semakin terdongkrak, sehingga roda perekonomian bergerak semakin cepat dan maju, bahkan dapat segera pulih dari dampak pandemi COVID-19.

Baca juga: Implementasi harga baru gas diyakini dorong ekspansi sektor manufaktur

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020