Kebijakan industri farmasi yang prolokal selama lebih dari satu dekade berhasil membantu produsen dalam negeri mendominasi pasar tetapi malah mengorbankan inovasi. ...
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan ingin ada kebijakan yang tepat dalam mengatasi hambatan inovasi yang terkait dengan persoalan paten dan hak atas kekayaan intelektual guna mengembangkan industri farmasi.

"Kebijakan industri farmasi yang prolokal selama lebih dari satu dekade berhasil membantu produsen dalam negeri mendominasi pasar tetapi malah mengorbankan inovasi. Produsen dalam negeri menguasai 95 persen pangsa pasar tetapi kebanyakan berfokus pada obat-obatan generik yang murah dan sudah habis patennya," kata Andree Surianta dalam keterangan tertulis, Kamis.

Menurut dia, obat-obatan inovatif yang patennya masih berlaku biasanya dipasok oleh perusahaan farmasi multinasional yang kegiatannya sangat dibatasi di sini.

Baca juga: Kemenkes: Industri farmasi-alkes Indonesia harus didorong berkembang

Ia menuturkan, obat-obatan inovatif ini merupakan hasil dari proses penelitian dan pengembangan yang panjang dan sangat mahal, sehingga perusahaan farmasi multinasional sangat bergantung pada rezim perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang kuat dan skala ekonomi yang masif untuk mengembalikan investasi yang telah mereka lakukan.

"Oleh karena itu, setiap upaya untuk menarik FDI (investasi asing) ke sektor ini harus memperhatikan kedua dinamika industri tersebut," katanya.

Andree mengungkapkan, pada masa lalu, pemerintah berusaha mengatasi kekurangan inovasi dengan mengundang perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia dengan mensyaratkan adanya transfer teknologi. Namun, pemaksaan seperti ini dinilai malah membuat Indonesia menjadi tidak menarik bagi bisnis yang produknya padat HAKI, terutama farmasi.

Baca juga: Pandemi, LSM desak industri farmasi jangan didorong ke privatisasi

Ia berpendapat bahwa adanya kebijakan yang mewajibkan pemegang paten Indonesia untuk memproduksi produknya di dalam negeri dan jika tidak dilakukan dapat menyebabkan pembatalan paten atau kewajiban lisensi ke pihak lain, dinilai bertabrakan dengan kedua dinamika industri di atas.

Selain itu, ujar dia, keharusan untuk mendirikan pabrik di Indonesia juga menjadi hambatan karena perusahaan farmasi multinasional kemungkinan besar sudah memiliki pabrik besar di tempat lain.

"Dampak yang lebih buruk daripada kehilangan FDI adalah kenyataan bahwa konsumen Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengakses obat-obatan temuan terbaru yang seharusnya lebih manjur. Kegagalan dalam memahami dinamika tersebut telah menghasilkan kebijakan yang menghalangi inovasi farmasi masuk ke Indonesia," ujar Andree.

Menurut dia, sejalan dengan upaya Indonesia untuk membangun budaya inovasi di bawah bayang-bayang COVID-19, diperbaharuinya skema perlindungan HAKI dalam UU Cipta Kerja merupakan langkah yang tepat.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020