Jakarta (ANTARA) - Festival pesisir membuat Desa Gumira di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, ramai pada 29 Oktober 2020.

Warga berkumpul di bawah tenda tak jauh dari bibir pantai untuk menikmati jamuan dan beberapa orang menari Togal dengan iringan alat musik tradisional tifa dan viol di dekat mereka.

Di tengah keramaian itu, sebagian warga Desa Gumira tampak menerapkan kehati-hatian. Mereka memakai masker untuk menghindari penularan virus corona. Kursi-kursi di area festival pun diatur berjarak untuk meminimalkan risiko penularan virus.

Meski jauh dari pusat penularan COVID-19 dan tidak mencatatkan kasus infeksi virus corona, desa berpenduduk 697 jiwa yang bisa dijangkau dengan perjalanan beberapa jam menggunakan kapal dari Ternate itu ikut merasakan dampak pandemi.

Desa penghasil kopra itu sempat mengunci wilayah untuk mencegah persebaran virus corona penyebab COVID-19. Akses ke desa sengaja dibatasi agar tidak ada orang dari daerah lain yang masuk tanpa pengawasan.

Pemerintah desa juga meminta warga tidak berkumpul dan keluar dari rumah kecuali pergi ke kebun mereka. 

Kebijakan itu berdampak pada perekonomian masyarakat desa sehingga pemerintah desa memutuskan memberikan bantuan bahan pokok kepada warga menggunakan Dana Desa meski sudah ada bantuan langsung tunai dan bantuan sosial lain dari pemerintah.

Pelaksana Tugas Kepala Desa Gumira Amaruddin Ishak mengatakan bahwa awal pandemi adalah masa yang paling berat.

Pembatasan akses masuk ke desa pada saat itu membuat pasokan bahan pokok tersendat dan warga tidak bisa menjual hasil kebun ke luar desa.

"Masyarakat di sini makanan pokoknya sagu, tapi tetap diselingi beras. Bergantian antara sagu dan beras tapi saat pandemi itu agak susah," kata Amaruddin saat ditemui ANTARA.

Kondisi serupa juga terjadi di Desa Samo dan Posi-Posi, yang berada tidak jauh dari Gumira, serta Pasir Putih, yang berada di Pulau Kayoa.

Meski masih mengandalkan sagu, kasbi (singkong), dan ubi sebagai makanan pokok, nasi putih kini telah menjadi bagian dari pangan pokok yang biasa terhidang di meja-meja makan warga desa-desa tersebut.

Pandemi membuat desa-desa itu agak kesusahan mendapatkan beras serta sayur-mayur dan bumbu dapur seperti cabai, yang disebut rica dalam bahasa lokal, tomat, dan bawang yang biasa dipasok dari luar desa.

Warga desa-desa itu semula mengonsumsi nasi karena mendapat bantuan beras dari pemerintah pusat. Setelah bantuan beras tidak ada lagi, mereka harus membeli beras dari luar desa.

Lahan padi yang menurut para tetua pernah menghiasi lansekap sudah tidak ada lagi di desa-desa itu. Kini, untuk mendapatkan beras, sayur dan cabai mereka harus membelinya dari pedagang di desa lain, kebanyakan transmigran dari Pulau Jawa.
 
Warga mengolah sagu yang dicampur kelapa untuk membuat masakan lokal bernama sinyole di Desa Samo, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (27/10/2020). (ANTARA/Prisca Triferna)


Ketahanan pangan

Kebanyakan warga desa pesisir seperti Samo, Posi-posi, Gumira, dan Pasir Putih adalah petani yang mengandalkan hasil perkebunan yang tidak bisa dipanen setiap hari sebagai sumber pencarian.

Desa-desa itu utamanya menghasilkan kopra. Warga desa bisa memanen kelapa untuk dibuat menjadi kopra tiga bulan sekali. 

Komoditas lain yang dihasilkan oleh desa-desa di Halmahera Selatan adalah cengkih yang dapat dipanen setahun sekali dan pala yang dapat dipetik sebulan sekali.

Warga desa menggunakan hasil penjualan hasil kebun itu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Direktur Perkumpulan PakaTiva Faisal Ratuela bersama EcoNusa dalam setahun terakhir mendampingi warga Desa Samo, Posi-posi, Gumira, dan Pasir Putih untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi desa guna memenuhi kebutuhan dasar warga.

PakaTiva bersama EcoNusa membimbing warga desa menapaki jalan menuju ketahanan pangan, antara lain lewat program Forest Community Work.

Program pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal itu mulai dijalankan tahun 2019, ketika harga kopra menurut Faisal sedang turun dari semula di kisaran Rp4.500 per kg menjadi Rp3.700 per kg.

Lewat Forest Community Work, masyarakat desa dibimbing mengembangkan produk turunan kelapa, pisang, dan kenari.

PakaTiva juga mendampingi kelompok-kelompok tani yang ada di desa memanfaatkan lahan mereka untuk menanam tanaman pangan seperti padi, sayur, singkong, dan buah.

Usaha itu dimulai dengan demplot-demplot tanam di Samo, Posi-posi, Gumira, dan Pasir Putih. Demplot-demplot tanam tersebut menjadi tempat penerapan metode pertanian terstruktur yang meliputi perawatan tanah dan pemeliharaan tanaman. 

Warga desa bisa mencontoh teknik budi daya yang diterapkan di demplot-demplot tersebut di lahan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Hasilnya upaya tersebut sudah mulai terlihat di Desa Samo, yang didampingi PakaTiva sejak pertengahan 2019. Masyarakat Samo pada awal 2020 telah memanen 2,5 ton padi yang mereka tanam sendiri.

Kesuksesan Samo dilirik oleh beberapa desa tetangga. Desa-desa yang sudah didampingi PakaTiva mempertimbangkan untuk memasukkan upaya pengembangan lahan pertanian dalam usul rencana penggunaan Dana Desa tahun 2021.

"Menanam tanaman hortikultura membuat hasil panen tanaman tahunan tidak lagi dihabiskan untuk membeli kebutuhan seperti beras atau sayur, tapi hanya untuk kebutuhan jangka panjang. Sehari-hari sudah dipenuhi lewat itu," kata Faisal.

Jika upaya pengembangan pertanian tanaman pangan tersebut dilakukan terus secara berlanjut, maka kemandirian dan ketahanan pangan di desa-desa terpencil Halmahera Selatan akan menjadi keniscayaan.

Baca juga:
Kementan jaga 11 komoditas untuk jamin ketahanan pangan
Serikat Petani deklarasikan Kawasan Daulat Pangan di empat provinsi

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020